1.085 Derajat Celsius

By , Rabu, 18 Maret 2015 | 13:07 WIB

Feynan, Yordania, 30°38'32" LU, 35°30'33" BT

Kami berjalan melewati gua yang hitam akibat api, laksana mata berpulas celak. Beberapa dihuni oleh troglodit modern—oleh orang Badui tunawisma. (“Lumayan kok. Kami tidak perlu bayar pajak!”) Kami belok menyusuri wadi kering yang besar berkelok, menyebar ke ruang bawah tanah yang pengap di Lembah Yordan. Mengikuti jalan zigzag yang terbentuk dua ribu tahun lalu oleh sandal pedagang dupa. Melewati bayangan pohon kasturi yang biru air. Melewati bayangan pohon akasia yang abu-abu getas. Melampaui setiap rona dan taksonomi bayangan hingga tidak ada bayangan pohon lagi. Saat matahari terbenam, kami masuk kembali ke gurun, bukit-bukit pasir, berjalan dalam kaldu cahaya kuning. Kami berada di ketinggian permukaan laut, sekitar 3.000 meter di bawah tebing Lembah Celah Besar.

Roti basi, pakan unta di Lembah Yordan yang kerontang. (Paul Salopek)

Kami tidur di kemah gembala Bedul, kaum seminomad yang memberi makan unta dengan berkarung-karung roti basi (tahun ini tidak ada rumput). Dengan tangan berpoles matahari, saya membelai leher aneh hewan itu, yang sangat lentur dan kuat, penampang lintangnya segitiga. Unta berjalan dengan terpekur, seperti biarawan yang bersumpah untuk berdiam diri.

Melintasi bukit pasir mengikuti bayangan. (Paul Salopek)

Keesokan paginya kuku kaki dua bagal gunung kecil kami melesak ke dalam pasir berwarna perunggu polesan. Setelah delapan kilometer, kita melihat kemah pemetik tomat, orang Suriah, pengungsi perang. Kota-kota mereka telah hancur. Seorang perempuan keluar dari kemah dan melambai kepada kami. Dia mengundang kami. Di dalam kemah dia menyelinap ke balik kain tergantung. Dia berganti pakaian yang paling bagus, merah muda terang bergaris-garis logam. Dia begitu anggun dalam kehamilannya. Kejelitaannya dapat menjinakkan kuda. Dia menjerang teh daun thyme liar untuk kami.

Tiga belas kilometer di sebelah timur laut, di alam liar berbatu-batu yang bernama Wadi Feynan, kita menambatkan bagal dan mendaki lereng curam ke sebuah situs arkeologi. Situs itu berusia 11.700 tahun. Semacam candi. Tempat ini sungguh luar biasa—langka. Kaum yang dulu membangun situs ini tentu pemburu hewan liar, pengelana bebas seperti manusia pertama yang keluar dari Afrika: bukan penduduk kota, bukan pemotong batu. Ini berasal dari abad-abad sunyi menjelang fajar, pada puncak Revolusi Neolitikum. Sebelum munculnya pertanian. Sebelum cercah samar agama terstruktur. Sebelum mulai berakhirnya sebagian besar sejarah manusia, yakni era nomad.

Kami menatap Lembah Yordan. Di dekat sini, di lereng batu warna oker, terdapat reruntuhan lain. Dinding batu. Penggilingan. Gundukan terak yang bersinar gelap seperti isi pensil. Mungkin inilah pelebur pertama di dunia, berusia setidaknya 6.000 tahun. Lubang tambangnya mirip lubang got. Pada zaman Romawi langit gurun ini menghitam akibat puluhan bengkel pandai besi, akibat pembakaran arang yang diperoleh dengan menggunduli hutan. Ribuan budak Kristen tewas selagi bekerja tambang. Gulag kuno. Wadi Feynan merupakan salah satu revolusi industri pertama umat manusia.

Revolusi ini dipicu oleh penemuan titik leleh tembaga secara kebetulan, mungkin dalam api unggun seorang pemburu. Inilah ambang suhu yang mengubah dunia. Angka spesifik yang harus dihafalkan anak-anak sekolah. Empat digit dalam satuan derajat ini berhak muncul pada monumen terkenal, dilapisi tembaga. Kami berdiri di garis depan kesadaran manusia. Wadi Feynan menjadi batas antara segala sesuatu yang kita ketahui sekarang dan segala sesuatu yang telah dilupakan.

Kami membangun api unggun. Kami menjerang teh. Kami menatap api.

Saya rindu pada kedua unta saya, yang ditinggalkan di cakrawala nomad lama di Hijaz. Tidak akan ada lagi orang nomad. Sampai beberapa lama. Sampai stepa di Asia Tengah yang jauh.