Kisah Haru Mercy Kennady

By , Jumat, 27 Maret 2015 | 14:30 WIB

Pada suatu siang di bulan Oktober 2014 lalu, sepulang bekerja, para pekerja di suatu desa di Liberia berjalan mengikuti arah asal suara tangisan memilukan, tangisan yang datang dari seorang anak perempuan kecil dalam balutan daster lusuh dan sandal jepit, dari semak belukar dan rimbunan pohon pisang di desa di Monrovia, Liberia.

Ia menangis karena baru saja, ibunya meninggal akibat Ebola.

Mercy Kennady merupakan satu dari 16.000 anak kecil lainnya yang kehilangan orang tua akibat wabah Ebola yang melanda Liberia.

UNICEF mengumumkan data pada Selasa (24/3) lalu, menunjukkan bahwa diantara total 24.000 orang yang meninggal akibat Ebola, 5.000 diantaranya adalah anak kecil.

UNICEF berharap, rilisnya data tersebut dapat menarik perhatian lembaga-lembaga perlindungan anak di seluruh Afrika Barat maupun dunia agar mau menjadi keluarga asuh untuk 16.000 anak yatim dampak Ebola tersebut.

Anak-anak korban Ebola kebanyakan mengalami degradasi mental karena rasa sedih dan traumatis yang mereka rasakan saat menyaksikan keluarga terdekat mereka menderita akibat Ebola. UNICEF mengatakan, yang perlu menjadi fokus saat ini adalah bagaimana cara membangun ulang infrastruktur dasar kesehatan bagi anak-anak tersebut, dan mengusahakan agar pendidikan mereka berlanjut.

Hingga kini, UNICEF masih memantau perkembangan Mercy Kennady. Mereka senang mendapati Mercy kini telah diadopsi oleh keluarga baru. 

Foto-foto yang dirilis UNICEF berikut merupakan potret kehidupan Mercy di lingkungan keluarga dan sekolah barunya di pinggiran kota Monrovia, Paynesville.

Martu Weefor, ibu asuh Mercy, adalah seorang kerabat dekat dari ibu Mercy. Ia mengasuh Mercy dan kakaknya, Harrish Wreh, yang berusia 17 tahun.

Ms. Weefor, orangtua asuh Mercy, membantu Mercy berpakaian sebelum berangkat sekolah. (Huffington Post)
Suasana kelas tempat Mercy (kanan) bersekolah. (Huffington Post)
Mercy Kennady (kedua dari kiri) tengah bercanda dan tertawa bersama teman-teman sebayanya, dalam perjalanan pulang dari sekolah menuju rumahnya di Monrovia. (Huffington Post)