Hari-hari pekan terakhir Januari, nelayan pantai utara Jawa sedang gundah-gulana dengan adanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Hari-hari itu, nelayan Tegal, Jawa Tengah, memprotes aturan menteri yang melarang alat tangkap ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets).
"Jaring cantrang dan dogol memang digunakan sebagian besar nelayan di Tegal," jelas Suhaeri, ketua Kelompok Masyarakat Pengawas Mina Jaladri Pasirputih. Cantrang dan dogol adalah jenis pukat tarik berkapal yang turut dilarang melalui aturan menteri Nomor 2 Tahun 2015. "Jaring itu memang hantam kromo semua yang ada di laut, tidak ramah lingkungan," imbuh Suhaeri.
Namun aturan Menteri Susi itu tidak membuat nelayan Pasirputih gelisah. Untuk menangkap rajungan, jelas Suhaeri, nelayan memakai jaring rajungan dan bubu. Jaring rajungan dan bubu hanya ditebar, dibiarkan, lalu diangkat. "Ya tetap ditarik, tapi memakai tangan, bukan mesin atau kapal," imbuhnya.
Suhaeri bersama kelompoknya malah biasa menangkap kapal-kapal nelayan dari luar yang memakai pukat tarik. "Orangnya kita lepas, tapi jaringnya kita sita," tuturnya, sembari menegaskan hanya polisi yang berwenang menangkap orang.
!break!Di sepanjang lepas pantai Pasirputih, terdapat bercak-bercak terumbu dan gosong pasir yang merupakan bagian dari gugusan karang Sendulang. Gugusan ini membentang dari barat ke timur, papar Suhaeri, "Mulai dari Ciparagejaya, Tanjung Baru, Pasirputih, Tangkolak, hingga Cilamaya Girang, di Subang."
Untuk melestarikan gugusan karang tersebut, Kelompok Mina Jaladri melarang pemakaian pukat. "Makanya nelayan yang memakai pukat tidak berani masuk ke Pasirputih," papar Suhaeri.
Sebagian besar nelayan Pasirputih mencari rajungan di lepas pantai Cikuntul, di sebelah barat Ciparagejaya. "Di sana rajungan paling banyak, karena dasar lautnya berpasir dan berlumpur. Itu mengapa di Jakarta masih ada rajungan, meski kecil-kecil, karena banyak pulau berpasir dan terumbu karang," Sahari menimpali.
Rajungan di Cikuntul, papar Suhaeri, mungkin berasal dari perairan Pasirputih. Saat laut berombak cukup besar, nelayan senang melaut karena rajungan banyak yang keluar. "Hasilnya, nelayan kecil bisa mencapai 2-3 kuintal. Sayangnya, di sana akan dibangun pelabuhan Cilamaya," Suhaeri menjelaskan dengan suara tercekat.
Di daratan bakal pelabuhan itu terdapat patok-patok tanah milik spekulan tanah berdiri di beberapa sudut. Lahan-lahan tambak di sisi timur Kalenkalong hingga barat Ciparagejaya telah dikuasai oleh orang-orang dari luar, seperti dari Bekasi, Jakarta, untuk menyambut pembangunan pelabuhan. "Para spekulan tanah ini yang bikin geger," ujar Sahari.
!break!Perahu-perahu nelayan hilir-mudik di perairan Cikuntul. Di situlah lahan tangkap para nelayan. Tidak saja dari Pasirputih, tapi juga dari Ciparagejaya, Tangkolak, Kalenkalong dan sekitarnya.
Dari peta rencana, Sahari mengetahui bahwa pelabuhan akan dibangun selebar 2 kilometer, sepanjang 3 kilometer. Dengan luas 6 kilometer persegi, tegasnya, "Nelayan mau cari ikan di mana? Apalagi nelayan kecil yang mencari ikan di pinggir laut."
Dia tak bisa membayangkan betapa sibuknya perairan Cikuntul saat pelabuhan Cilamaya beroperasi. Perahu-perahu nelayan akan berhadapan dengan kapal kargo berukuran besar. "Masa kita harus menunggu kapal besar lewat? Kalau tertabrak pasti hancur. Ukuran perahu nelayan mah kecil, paling besar 7 gross tonnage. Jangankan tertabrak, disenggol saja oleng. Apa mau kapal-kapal besar itu bertanggung jawab?"