Meski tak mendapat cahaya matahari akibat terhalang bumi, bulan biasanya masih tampak selama totalitas gerhana, berubah warna menjadi merah darah. Itu terjadi karena Bumi merefraksikan cahaya matahari dan secara tak langsung menyinari bulan.
Namun 199 tahun lalu, tepatnya 10 Juni 1816, bulan benar-benar hilang saat masuk totalitas gerhana, tak ada warna merah darah. Gerhana bulan total saat itu menjadi gerhana paling gelap sepanjang sejarah.
Selama bertahun-tahun, astronom berusaha memahami sebab terjadinya fenomena tersebut. Penelitian akhirnya mengungkap bahwa gerhana bulan tergelap itu disebabkan oleh letusan gunung Tambora.
Publikasi Richard B Stothers dari Goddard Space Flight Center, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), di Publication of the Astronomical Society of the Pacific mengungkap, Tambora mengirim material vulkanik ke atmosfer dalam jumlah besar.
Dalam makalah yang terbit 7 November 2005 tersebut, Stothers menguraikan bahwa sulfat dan aerosol hasil erupsi Tambora mencapai lapisan stratosfer, memblokir cahaya merah darah bulan yang seharusnya sampai bumi.
Fenomena gerhana gelap setelah letusan Tambora membuktikan bahwa penampakan gerhana bulan bisa menjadi indikator dari magnitudo erupsi gunung berapi dan material yang dilemparnya ke atmosfer.
Jumlah sulfat, aerosol, atau material vulkanik lainnya bisa dikatakan makin besar bila warna gerhana bulan yang terjadi sesudahnya berubah, mulai berwarna lebih gelap hingga tak tampak sama sekali.
Selain Tambora, letusan Krakatau juga pernah mengubah warna gerhana bulan. Saat totalitas gerhana, bulan tampak berwarna biru. Fenomena yang sama terjadi pada gerhana bulan 9 Desember 1992 setelah letusan Gunung Pinatubo pada tahun yang sama.
10 April 2015 nanti tepat 200 tahun letusan Tambora. Erupsi gunung tersebut memang berdampak luar biasa, mulai dari meruntuhkan 3 kerajaan di sekitarnya hingga membuat Napoleon kalah perang.