Bukti Kengerian Letusan Tambora yang Melegenda

By , Rabu, 8 April 2015 | 14:00 WIB

Letusannya terdengar hingga ke Pulau Jawa. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Thomas Stamfford Raffles, mencatatnya dalam memoar "The History of Java". Ia menggambarkan bunyi letusan Gunung Tambora pada 5 April 1815 itu bagai meriam.

Raffles pun mengutus Letnan Owen Phillips untuk mencari tahu letusan gunung di sisi timur dari Pulau Jawa. Phillips menemui Raja Sanggar yang selamat dari "amarah" Gunung Tambora di Pulau Sumbawa. Dalam catatan Phillips, Raja Sanggar menuturkan bahwa pada 10 April 1815 tiga kolom raksasa muncul dari puncak Gunung Tambora dan membubung tinggi. “Ketiga kolom bergabung menjadi sesuatu yang mengerikan…,” ungkap Raja Sanggar. Kengerian itu tergambar jelas dari kaldera besar yang ada di Gunung Tambora saat ini. Sebelum letusan dahsyat itu, Gunung Tambora memiliki ketinggian mencapai 4.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Letusan yang dahsyat melenyapkan hampir setengah bagian tubuhnya. Kini gunung yang melegenda itu hanya menyisakan ketinggian 2.751 mdpl. Kaldera besar juga tercipta akibat letusan yang membawa petaka hingga daratan Eropa ini.

Foto udara diambil di daerah Oibura dengan latar Pulau Satonda dan Pulau Moyo. Proyek pembukaan hutan mulai menjamah sisi barat Tambora pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Sebuah perusahaan penebangan kayu yang telah mengantongi izin dari pemerintah, membuka jalan dengan traktor-traktor beroda rantai. Jalan itu telah mengukir pinggang gunung sejauh 45 kilometer, dari Calaibai di pesisir barat sampai Kawinda di pesisir utara, yang juga melintasi kawasan perkebunan kopi. Sejak saat itulah kayu kalanggo (Duabanga moluccana) yang menjadi hutan primer khas Tambora mulai ditebang sebagai bahan dasar kayu lapis. (Dhanny Pratama Putra)

“Dari bibir kaldera lewat Doro Ncanga masih sekitar 8 jam lagi untuk turun. Itu juga mesti pakai tali,” tutur Anton, porter yang pernah turun ke kaldera Tambora, kepada tim "Ekspedisi Alam Liar" dari Kompas.com. Mata kami hanya dapat memandang takjub lubang kaldera yang bertebing curam di segala bagian. Tak terbayangkan penderitaan yang terjadi ketika awan panas, abu, dan batu-batuan vulkanik jatuh ke permukiman warga.

Raja Sanggar kembali mengisahkan, antara pukul 21.00 dan 22.00, abu terus jatuh, diikuti puting beliung yang menerbangkan hampir semua rumah di Sanggar. Tumbuhan raksasa tercerabut bersama akarnya, lalu terbang bersama orang, rumah, ternak, dan apa pun di muka Bumi. Dampaknya tak hanya terasa di Pulau Sumbawa ataupun di seluruh bagian Nusantara. Pada tahun 1816, Eropa dan bagian utara dunia lainnya mengalami tahun tanpa musim panas yang mengubah dunia. Berbagai penelitian menyebutkan, tahun tanpa musim panas merupakan dampak dari letusan mahadahsyat dari Gunung Tambora. Eropa mengalami musim dingin berkepanjangan yang berujung pada gagal panen dan kelaparan. Sejarah terbentuk dari tahun tanpa musim panas itu, mulai dari beragam penemuan, kisah horor melegenda, migrasi penduduk, hingga konon kekalahan Napoleon Bonaparte.

Batu apung (pumice) yang gosong banyak tersebar di sepanjang perjalanan menuju Gunung Tambora di Pulau Sumbawa. (Warsono/National Geographic Indonesia)
!break!

Kaldera nan luasKini, memandang kaldera Tambora di depan mata, napas kembali terhela dengan kepala sedikit menunduk. Sepasang mata tak cukup untuk memandangi seluruh bagian kawah yang pernah menggemparkan dunia tersebut. “Besar banget. Bayangkan hampir 7 kilometer diameternya,” ujar Kristianto Purnomo, fotografer Kompas.com yang tergabung dalam ekspedisi tersebut. Dengan diameter sepanjang itu, jika ditempuh oleh kendaraan bermotor dengan kecepatan 20 kilometer per jam, maka memerlukan waktu sekitar 3 menit. Sementara kedalaman dasar kaldera diperkirakan mencapai 1 kilometer. Fikria Hidayat, salah satu anggota tim ekspedisi yang pernah turun ke dasar kaldera, mengatakan perlu waktu hingga 8 jam perjalanan dengan beberapa bagian medan yang sangat curam.

Gunung Tambora dengan tinggi 2.851 meter di atas permukaan laut, tampak dari Desa Oibura, Kabupaten Bima. Sepertiga bagian gunung ini musnah pada erupsi 1815. (Sony Wibisono/Pusat Arkeologi Nasional)

Dari bibir kaldera, menghadap barat laut, gugusan Pulau Moyo dan Pulau Satonda tampak di depan mata. Di sebelah utara dari titik akhir pendakian lewat Doro Ncanga, Anton menunjuk jalur pendakian lain yang melewati Desa Kawinda Toi, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima. Sementara di ujung sisi barat, terdapat jalur pendakian melewati Desa Pancasila. Di arah timur, masih ada lagi jalur pendakian yaitu melewati Desa Sanggar. Asap tipis mengepul di sisi barat laut dasar kaldera. Diikuti juga dengan awan-awan yang tipis ketika berada di bibir kaldera. Selepas tahun 1815, sang Tambora berupsi kembali, tetapi dengan skala yang jauh lebih kecil. Tercatat pada 1819, selama 1847-1913 yang membentuk kerucut Doro Afi Toi, dan terakhir kali pada 1967. Anak gunung yang baru terbentuk tak dapat terlihat dari bibir kaldera jalur Doro Ncanga. Jika dilihat dari jalur Pancasila, Doro Afi Toi dapat terlihat. Tambora tidak benar-benar mati. Ia hanya tertidur sebentar. Seakan menanti waktu untuk terbangun dan kembali menunjukkan kedahsyatannya.