Ujian Nasional Berbasis Komputer, Efektifkah?

By , Senin, 13 April 2015 | 16:00 WIB

Ujian Nasional (UN) akan dilangsungkan secara serentak di 79.000 SMP dan SMA sederajat di seluruh Indonesia, mulai Senin (13/04). Dari puluhan ribu sekolah tersebut, ada sejumlah sekolah yang menggelar UN berbasis komputer. Metode semacam ini adalah yang pertama di Indonesia.

Dari 556 sekolah di Indonesia yang mengadakan UN berbasis komputer, salah satunya ialah SMA 70 di Jakarta Selatan. Berdasarkan pemantauan BBC, komputer-komputer di sekolah tersebut telah siap digunakan. Bahkan, Wakil Kepala Sekolah Syahroni mengaku telah meminta PLN untuk menjaga pasokan listrik agar ujian dapat berjalan tanpa gangguan.

Kalaupun terjadi pemadaman listrik, menurutnya, hasil pekerjaan siswa selama ujian sudah tersimpan dalam server sehingga ketika gangguan listrik bisa diatasi siswa bisa langsung melanjutkan ujian. Adapun waktu yang hilang selama listrik padam tidak akan diperhitungkan.Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan UN berbasis komputer sengaja dimulai demi berbagai alasan, termasuk menekan biaya.

Tekan biaya

"Anda bisa bayangkan apabila soal ujian yang dicetak di Sulawesi Selatan harus dikirim ke Kepulauan Sangihe di bagian utara Sulawesi. Soal-soal itu dibawa melalui jalan darat, dibawa terbang, dibawa melalui laut agar sampai di tempat. Lalu, bayangkan jika di sana ada akses internet kemudian di sekolahnya ada server dan komputer. Pengiriman akan jauh lebih simpel, biaya jauh lebih murah karena tidak perlu dicetak dan tidak perlu distribusi yang mahal," papar Anies.

Kendati demikian, Anies menegaskan Kemdikbud tidak memaksa sekolah untuk ikut UN berbasis komputer. Metode itu, tegasnya, hanya bisa dilakukan sekolah yang memiliki jumlah komputer minimum sepertiga dari jumlah siswa yang ikut ujian."Yang sudah siap pakai komputer, pakai komputer. Yang belum siap, pakai kertas. Karena ini tujuannya melaksanakan UN, bukan menggunakan komputer," katanya kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.

Belum siap

Dengan kondisi infrastruktur Indonesia saat ini, sejumlah kalangan menilai UN berbasis komputer belum saatnya diterapkan.

"Pelaksanaannya terlalu cepat karena Indonesia bukan Jakarta, bukan kota-kota besar. Berapa persen anak Indonesia di daerah-daerah yang bisa memakai komputer dengan baik? Apa perlu secepat itu, apalagi dalam kondisi listrik di Indonesia suka mati dan hidup?" tanya Profesor Soedijarto, selaku guru besar Universitas Negeri Jakarta.Pandangan itu ditepis Mendikbud Anies Baswedan. Dia merujuk fakta bahwa dari 208.000 sekolah di Indonesia, 118.000 di antaranya sudah memiliki jaringan internet."Jangan underestimate negeri kita. Negeri kita ini luar biasa. Penetrasi listrik juga akan digenjot tahun-tahun ke depan. Kita tidak berencana menerapkan UN berbasis komputer di seluruh sekolah tahun ini," ujarnya.

Penentu kelulusan

Selain adanya ujian berbasis komputer, UN tahun ini tidak menjadi penentu kelulusan siswa. Kelulusan murid ditentukan oleh sekolah melalui hasil nilai rapor dan ujian akhir sekolah.

"Tujuan UN adalah untuk mengukur kinerja seorang siswa. Maka, anak belajar bukan karena takut tidak lulus, tapi karena nilai ini dipakai untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Kalau Anda ingin masuk ke universitas yang Anda inginkan, tunjukkan nilai skor UN yang tinggi. Jadi, motivasinya berubah," kata Anies.

Kebijakan itu ditanggapi gembira oleh para siswa tingkat akhir SMP maupun SMA. Azhar Aditya, misalnya. Pelajar kelas 12 SMA 70 itu mengaku diberikan keringanan lantaran UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan."Ada kelegaan karena UN tak menentukan kelulusan. Cuma tetap saja saya mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi UN karena hasilnya mempengaruhi penerimaan di universitas negeri," katanya.

Ujian Nasional tahun ini diikuti sedikitnya 7,3 juta siswa yang tersebar di 79.000 sekolah di seluruh Indonesia.