32 tahun lalu, tepatnya pada 11 Juni 1983, seketika siang berganti jadi malam. Langit gelap gulita, suhu udara menurun, ayam berkokok, kelelawar pun keluar dari sangkarnya, dan orang-orang bersembunyi di dalam rumah dengan penuh tanya, “Ke mana hilangnya matahari?” sambil menyaksikan siaran langsung Gerhana Matahari Total yang disiarkan oleh TVRI.
Pada masa itu, masyarakat Indonesia dihimbau oleh Departemen Penerangan untuk tidak menyaksikkan gerhana matahari total secara langsung dengan alasan dapat mengakibatkan kebutaan. Informasi tersebut disebarkan di sepanjang jalan dan juga ditayangkan di media cetak. Informasi yang didapat secara satu arah ini membuat masyarakat sepakat untuk berlindung di rumah.
Tidak hanya itu, masyarakat yang khususnya berada di Pulau Jawa juga didongengkan dengan bumbu-bumbu mitos tentang murkanya sang raksasa Betara Kala yang menelan matahari, dan bayi-bayi yang ada di dalam kandungan ibu hamil. Hal ini membuat masyarakat semakin enggan untuk menikmati gerhana total matahari secara langsung.
Fenomena langka yang dihindari oleh manusia pada masa itu (1983) melahirkan keprihatin dari para ilmuwan astronomi. “Masa itu adalah pembodohan massal, masyarakat dilarang tidak boleh melihat karena bisa buta. Sementara itu, pemimpin negara bersama Adam Malik dapat mengabadikan fenomena itu di Tanjung Kodok, Tuban.” Ujar Prof. Dr. Bambang Hidayat di Lokakarya Menyambut Gerhana Matahari Total 2016.
Para peneliti kemudian mencetuskan hasil-hasil observasi yang menyatakan bahwa menyaksikan gerhana matahari total secara langsung tidaklah berbahaya. Hal ini diperjelas oleh Prof. Dr. Thomas Djamaluddin dalam konferensi pers Gerhana Matahari Total 2016 (14/4), “Siapapun bisa menikmati proses gerhana matahari total ini, cukup dengan alat bantu seperti kacamata pelindung untuk menyaksikan detik-detik yang paling membahayakan, yaitu ketika cahaya bulan benar-benar hilang dan langit mulai kembali terang.” jelasnya.
Penyuluhan tentang kabar gembira untuk masyarakat dapat menyaksikannya Gerhana Matahari Total yang akan kembali terjadi pada 2016 ini tentunya tak leas dari bantuan pendidik dan kemenkominfo. “Fenomena ini potensi edukasinya kuat bila disampaikan dengan pemahaman yang benar. Kita membutuhkan kerjasama dengan para pendidik dan juga media untuk mewujudkan potensi itu. Semua bisa melakukan penelitian dan ikut mengamati Gerhana Matahari Total 2016. Jangan sampai kesempatan ini dilewatkan lagi, sebaliknya jadikan peluang besar untuk mengembangkan seluruh sektor.” ujar Avivah Yamani selaku peneliti dari Langitselatan.com
Jadi, bagaimana Sahabat? Apakah Sahabat masih takut untuk menghadapi Gerhana Matahari Total pada 9 Maret 2016 mendatang?