Peta Lintasan Maut: Awan Panas Megakolosal Tambora 1815

By , Kamis, 16 April 2015 | 12:04 WIB

“Gunung ini memang aktivitasnya tidak begitu menakutkan,” kata Agus Budianto. “Diam tenang, tidak berasap.” Agus menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Evaluasi Bencana Gunungapi di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

Dari suatu cerita tentang batuan yang dibangun erupsi pada masa lalu, demikian ungkap Agus, kita dapat mengetahui sejarah geologi sebuah gunung api.

Agus mengatakan bahwa cerita tentang aktivitas Gunung Tambora itu tidak pernah tercatat oleh masyarakat. Sama sekali tidak ada sejarah yang bercerita tentang seperti apa Tambora sepanjang sejarah manusia hidup di sana. “Artinya apa?” ujar Agus retoris. “Bahwa gunung itu sebelum meletus telah beristirahat dalam arti yang sebenar-benarnya. Tidak ada aktivitas sama sekali.”

“Ini bercerita, walaupun gunung itu beristirahat lama tetap ada kemungkinan untuk meletus.”

Kemudian, lanjut Agus, baru pada 1812 masyarakat melihat ada asap tebal yang mulai tinggi. Fenomena ini tampaknya terjadi selama tiga tahun. “Ini bercerita, walaupun gunung itu beristirahat lama tetap ada kemungkinan untuk meletus.”

Pada 5 April 1815 letusan terdengar sampai Ternate, ujarnya. Setelah itu aktivitasnya naik turun dan  Kemudian meningkat menimbulkan tiang erupsi bergerak 40 kilometer dari kawah gunung Tambora. Kemudian terlihat bara api dan letusan yang cukup besar.Kemudian muncul awan panas.  Pada 10 April 2015, sekitar pukul delapan malam, terjadi hujan batu seukuran 20 sentimeter. Desa Sanggar, yang jaraknya 40 kilometer dari kaldera Tambora, terkena petaka hujan batu tersebut. “Bayangkan seperti apa tinggi letusannya.”

Semenjak itu lontaran awan panas silih berganti. Angin kencang membawa awan panas tinggi, bahkan pohon hingga tercerabut akarnya di Sanggar. “Tanggal 10-11 itu sangat dahsyat ternyata,” ungkapnya. “Sampai terdengar di Bengkulu, sekitar 2.000 kilometer dari lokasi.”

Sumber : Peta Geologi Gunungapi Tambora Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, oleh : M.N. Kartadinata, A.R. Mulyana, E. Kriswati, dan N. Haerani, Tahun 2008, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Area warna abu-abu dalam bingkai putih adalalah aliran awan panas, sementara area warna cokelat dalam bingkai putih adalah jatuhan awan panas. Klik area bayang-bayang untuk mengetahui informasi. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Kemudian mencapai klimaksnya pada 11 April. Tambora mengamuk ke segala arah, terutama arah utara dan barat. Awan panas datang bergulung-gulung, yang membawa batu apung. Pada fase ini, tampaknya kaldera Tambora yang menganga lebar tengah berada dalam proses pembentukan. “Semua awan panas menyebar ke segala penjuru,” ujar Agus sembari menunjuk peta area luncuran awan panas Tambora. “Bisa dibayangkan, kalau seperti luncurannya, maka seluruh wilayah ini adalah wilayah kematian.”

“Kita cukup berbahagia,” pungkasnya. “Dan, kita cukup tidak berbahagia untuk terulang kembali.”

Dampak awan panas telah menyebabkan musnahnya kehidupan di sekeliling Tambora. Hampir 12.000 warga yang bermukim di sekelilingnya binasa dalam hitungan 24 jam sejak letusan megakolosal pertamanya. Lantaran saat itu angin berembus ke arah barat, Kota Bima lebih sedikit terkena dampaknya jika dibandingkan kawasan barat, seperti Lombok dan Bali.

“Terus terang saja,” tutur Agus, “melihat besarnya letusan seperti ini kita agak tenang sebenarnya.”

Dia mengungkapkan bahwa kita bersyukur karena kecil sekali kemungkinan letusan serupa terjadi pada masa sekarang. Pun, sejarah gunung api di dunia mencatat bahwa Indonesia memiliki serangkaian letusan dahsyat yang memengaruhi iklim dunia pada abad ke-19: Tambora dan Krakatau. “Kita cukup berbahagia,” pungkasnya. “Dan, kita cukup tidak berbahagia untuk terulang kembali.”

(Peta lintasan maut ini juga terdapat dalam kisah feature "Terbenam Murka Sang Ancala" yang terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi April 2015.)