Tambora Layak Menjadi Ekomuseum Kelas Dunia

By , Sabtu, 18 April 2015 | 15:30 WIB

Peringatan letusan Gunung Tambora diharapkan tidak berhenti pada kawasan itu sebagai taman nasional oleh Presiden. Tambora berpotensi menjadi ekomuseum kelas dunia yang bisa menarik wisatawan, sekaligus media belajar tentang kegunungapian dan dampaknya bagi peradaban. 

“Peringatan letusan Tambora bukan perayaan karena ini artinya memperingati banyaknya korban. Ini harus menjadi momen refleksi dan momentum memajukan daerah ini, sekaligus meningkatkan perngatahuan tentang gunung api dan dampaknya bagi peradaban,” kata Ketua Tim Penelitian Situs Tambora Sonny Wibisono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkeonas), dalam diskusi di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (17/4).

Diskusi ini rangkaian peringatan dua abad letusan Tammbora yang digelar BBJ. Selain Sonny, turut berbicara fisiolog dari Bima, Siti Maryam, Kepala Puslit Arkenas, I Made Griya, Kepala Badan Geologi Surono, dan Geolog Indyo Pratomo.

Menurut Sonny, penggalian di Tambora sejak 2006 telah menemukan data penting, misalnya berhasil mengekskavasi sebuah kompleks permukiman yang terkubur material vulkanik dengan kondisi lengkap, mulai dari batu penopang, kayu, hingga perabotan rumah. Selain itu, diemukan berbagai komoditas, sperti aneka hasil pertanian, dan alat-alat tenun yang menandakan kemajuaan kebudayaan saat itu.

Namun, dari sisi arkeologo, Tambora masih banyak menyisakan misteri. “Sampai kini, pusat Kerajaan Tambora dan Pekat yang hilang karena letusan Tambora tahun 1815 belum ketemu,” kata Griya. Oleh karena itu, riset di Tambora masih menjadi salah satu prioritas Puslit Arkenas.

!break!

Sonny mengatakan, selain temuan arkeologis ini, yang juga perlu diperhatikan adalah lingkungan di sekitar Tambora yang semakin rusak karena perambahan hutan. “Oleh karena itu, kami mengusulkan dibuat ekomuseum di sana. Selain bisa menampung koleksi arkeologi, juga membawa pesan untuk menjaga ekologi, seperti bagaimana masyarakat Tambora belajar menghargai kearifan alam,” tuturnya.

Siti Maryam mengharapkan, peringatan letusan Tambora itu dapat memajukan pembangunan di kawasan timur Indonesia, yang cenderung terpinggirkan.

Foto udara diambil di daerah Oibura dengan latar Pulau Satonda dan Pulau Moyo. Proyek pembukaan hutan mulai menjamah sisi barat Tambora pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Sebuah perusahaan penebangan kayu yang telah mengantongi izin dari pemerintah, membuka jalan dengan traktor-traktor beroda rantai. Jalan itu telah mengukir pinggang gunung sejauh 45 kilometer, dari Calaibai di pesisir barat sampai Kawinda di pesisir utara, yang juga melintasi kawasan perkebunan kopi. Sejak saat itulah kayu kalanggo (Duabanga moluccana) yang menjadi hutan primer khas Tambora mulai ditebang sebagai bahan dasar kayu lapis. (Dhanny Pratama Putra)

Kaya sumber daya

I Made Griya mengatakan, Tambora sebenarnya kaya sumber daya yang mendunia. Kopi tambora dikenal sebelum letusan gunung ini tahun 1815. Pada periode itu, Belanda telah menjalin perdagangan dengan kerajaan di sekitar Tambora. 

Dokumen yang menyebutkan perdagangan kopi itu adalah catatan Kerajaan Bima atau Bo’Sangaji Kai, yang dikompilasi Siti Mariyam bersama Henri Chambert-Loir. Disebutkan, ada perjanjian damai dan perdagangan di antara kerajaan-kerajaan di lereng Gunung Tambora dan Belanda yang dilakukan di Makasar, 18 April 1701. Temuan biji kopi yang terangkat karena terkubur letusan menguatkan catatan sejarah tersebut. “Tetapi, sekarang nama kopi tambora tak dikenal lagi,” katanya.

Dari sisi geologi, menurut Indyo, Gunung Tambora masih sangat menarik minat ilmuwan dunia untuk mempelajarinya. 

Surono mengingatkan, Tambora seharusnya menggugah Indonesia meningkatkan minat mempelajari gunung api. “Masak Singapura yang yak punya gunung api malah mendirikan EOS (Earth Observatory of Singapore) yang salah satu fokus menyelidiki gunung api,” katanya.