Ernest Douwes Dekker, Belanda-Jawa yang Meresahkan Hindia Belanda

By Galih Pranata, Rabu, 10 November 2021 | 11:00 WIB
Ernest Douwes Dekker (tengah), sedang berpotret bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat yang dikenal dengan Tiga Serangkai. (Wikimedia Commons)

Sikapnya yang kritis, bersumber dari kakeknya yang merupakan penulis dan jurnalis ulung. Tak mengherankan saat tumbuh dewasa, Ernest telah bergelut di dunia pers.

"Ia bersekolah di HBS (Hogere Burger School), tempatnya mendapatkan perilaku diskriminatif dari teman-teman Belandanya, lantaran dirinya adalah Indo," imbuhnya. Memiliki darah keturunan pribumi akan dipandang rendah oleh orang Belanda, dan itu terjadi pada Ernest. Barangkali itu yang melatarbelakangi rasa memberontaknya kepada Belanda. 

Sebagaimana kakeknya, setiap keresahan dan gejolak dalam pikirannya, selalu ia tuangkan dalam tulisan. "Ernest Douwes Dekker telah berhasil menulis Gedenkboek van Lombok yang menakjubkan, membuatnya mendapat pujian dari banyak pihak," lanjut Clemens Dimas.

Louise Neumann (ibunda Ernest), meyakini bahwa kelak anaknya akan menjadi penulis handal. Hal itu terbukti saat Ernest bergabung dalam perusahaan media besar Hindia-Belanda, sekaliber de Locomotief. Meski begitu, awal karirnya tak melulu soal pers.

Keluarganya yang kesulitan secara ekonomi, membuatnya tak mampu melanjutkan studi lanjut ke perguruan tinggi. Itu mendorongnya untuk bekerja di perkebunan milik Handelsvereniging Amsterdam, Soember Doeren, Malang. Disana, dia bekerja di bagian manajemen perkebunan.

Baca Juga: Karut-Marut Pagebluk Pes Pertama di Hindia Belanda

Duduk dari kiri ke kanan: Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Dr. E.F.E. Douwes Dekker, R.M. Soewardi Soerjaningrat; Berdiri dari kiri ke kanan: F. Berding, G.L. Topée en J. Vermaesen. Foto berdasar arsip foto tahun 1913 koleksi KITLV. Olah warna digital dengan kecerdasan buatan dari colourise.sg. (KITLV)

"Pengalamannya menyaksikan nasib buruh pribumi di perkebunan, menggerakan hatinya," ungkap Dimas. Para buruh dipaksa bekerja keras selama 14 hingga 18 jam sehari. Belum lagi, mereka diperlakukan tidak manusiawi dan tak mendapat hak yang layak.

Selama mengawasi para buruh, tak jarang Ernest Douwes Dekker memberikan waktu kepada mereka untuk istirahat sejenak. "Kebijakan manusiawinya menimbulkan masalah dengan pimpinan perkebunan R.W. Jesse," lanjutnya.

Jesse meminta kepada Ernest untuk tidak terlalu lembut dalam mempekerjakan para buruh, namun permintaannya tak pernah digubris Ernest. "Akibat konflik berkepanjangan dengan Jesse, Ernest tak kerasan dan memilih untuk mengundurkan diri dari Soember Doeren," sambungnya.

Beberapa kali ia terlibat konflik dengan orang Belanda hingga membuatnya kehilangan pekerjakan, namun ia tetap berpegang pada prinsip untuk membela pribumi atas dasar kemanusiaan.

"Tak berhenti disitu, ia juga pernah bergabung sebagai tentara di Transvaal, Afrika Selatan yang membuatnya berpengalaman dalam peperangan," tulis C. de Jong. Ia menulis dalam Lotgevllen van Drie Broers Douwes Dekker In De Angloboerenoorlog 1899-1902, publikasi tahun 1979.

Halaman berikutnya...