Ernest Douwes Dekker, Belanda-Jawa yang Meresahkan Hindia Belanda

By Galih Pranata, Rabu, 10 November 2021 | 11:00 WIB
Ernest Douwes Dekker (tengah), sedang berpotret bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat yang dikenal dengan Tiga Serangkai. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—"Salah satu pionir pergerakan nasional Indonesia adalah keturunan Belanda-Jawa, ia adalah Ernest Douwes Dekker, yang dibesarkan oleh pemikiran kakeknya, yang diceritakan oleh ayahnya melalui Max Havelaar," tulis Dimas. 

Clemens Dimas menulis dalam skripsinya yang berjudul Usaha Ernest Francois Douwes Dekker dalam Mengembangkan Nasionalisme di Hindia-Belanda, publikasi tahun 2018. Eduard Douwes Dekker yang banyak menggubah tulisan (termasuk Max Havelaar), sebenarnya adalah kakek (paman buyut) dari Ernest Douwes Dekker.

Ernest yang memiliki nama lengkap Ernest François Eugène Douwes Dekker, dilahirkan sebagai Indo (keturunan Belanda-Jawa). Ia lahir pada 8 Oktober 1879, di kota terpencil, Pasuruan.

Halaman selanjutnya...

Sikapnya yang kritis, bersumber dari kakeknya yang merupakan penulis dan jurnalis ulung. Tak mengherankan saat tumbuh dewasa, Ernest telah bergelut di dunia pers.

"Ia bersekolah di HBS (Hogere Burger School), tempatnya mendapatkan perilaku diskriminatif dari teman-teman Belandanya, lantaran dirinya adalah Indo," imbuhnya. Memiliki darah keturunan pribumi akan dipandang rendah oleh orang Belanda, dan itu terjadi pada Ernest. Barangkali itu yang melatarbelakangi rasa memberontaknya kepada Belanda. 

Sebagaimana kakeknya, setiap keresahan dan gejolak dalam pikirannya, selalu ia tuangkan dalam tulisan. "Ernest Douwes Dekker telah berhasil menulis Gedenkboek van Lombok yang menakjubkan, membuatnya mendapat pujian dari banyak pihak," lanjut Clemens Dimas.

Louise Neumann (ibunda Ernest), meyakini bahwa kelak anaknya akan menjadi penulis handal. Hal itu terbukti saat Ernest bergabung dalam perusahaan media besar Hindia-Belanda, sekaliber de Locomotief. Meski begitu, awal karirnya tak melulu soal pers.

Keluarganya yang kesulitan secara ekonomi, membuatnya tak mampu melanjutkan studi lanjut ke perguruan tinggi. Itu mendorongnya untuk bekerja di perkebunan milik Handelsvereniging Amsterdam, Soember Doeren, Malang. Disana, dia bekerja di bagian manajemen perkebunan.

Baca Juga: Karut-Marut Pagebluk Pes Pertama di Hindia Belanda

Duduk dari kiri ke kanan: Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Dr. E.F.E. Douwes Dekker, R.M. Soewardi Soerjaningrat; Berdiri dari kiri ke kanan: F. Berding, G.L. Topée en J. Vermaesen. Foto berdasar arsip foto tahun 1913 koleksi KITLV. Olah warna digital dengan kecerdasan buatan dari colourise.sg. (KITLV)

"Pengalamannya menyaksikan nasib buruh pribumi di perkebunan, menggerakan hatinya," ungkap Dimas. Para buruh dipaksa bekerja keras selama 14 hingga 18 jam sehari. Belum lagi, mereka diperlakukan tidak manusiawi dan tak mendapat hak yang layak.

Selama mengawasi para buruh, tak jarang Ernest Douwes Dekker memberikan waktu kepada mereka untuk istirahat sejenak. "Kebijakan manusiawinya menimbulkan masalah dengan pimpinan perkebunan R.W. Jesse," lanjutnya.

Jesse meminta kepada Ernest untuk tidak terlalu lembut dalam mempekerjakan para buruh, namun permintaannya tak pernah digubris Ernest. "Akibat konflik berkepanjangan dengan Jesse, Ernest tak kerasan dan memilih untuk mengundurkan diri dari Soember Doeren," sambungnya.

Beberapa kali ia terlibat konflik dengan orang Belanda hingga membuatnya kehilangan pekerjakan, namun ia tetap berpegang pada prinsip untuk membela pribumi atas dasar kemanusiaan.

"Tak berhenti disitu, ia juga pernah bergabung sebagai tentara di Transvaal, Afrika Selatan yang membuatnya berpengalaman dalam peperangan," tulis C. de Jong. Ia menulis dalam Lotgevllen van Drie Broers Douwes Dekker In De Angloboerenoorlog 1899-1902, publikasi tahun 1979.

Halaman berikutnya...

Selepas peperangan, setelah dibebaskan dari tawanan Inggris, ia berkeliling Eropa dan bertemu para tokoh pergerakan dunia. Ernest merasa terilhami dan bertekad untuk melakukan hal yang sama saat kembali ke Hindia-Belanda. "Ia bergabung dengan koran Batavische Niuwesblad, menulis banyak artikel disana," tulisnya.

Pemilihan diksi yang tajam dan menggugah tentang nasib para buruh di perkebunan dan kritiknya terhadap kebijakan pemerintah Hindia-Belanda, melejitkan karirnya di dunia pers. Tak tanggung-tanggung, dalam beberapa waktu, Ernest diangkat sebagai redaktur Batavische Niuwesblad.

"Selama menjadi redaktur, ia tak pernah berhenti memantik semangat anti-kolonialisme dalam setiap tulisannya," tulis Clemens Dimas. Tulisannya berjudul Hoe kan Holland he Spoedigst Kolonial vierlizen (Bagaimana paling cepat Belanda kehilangan tanah jajahannya), terbit hingga ke Belanda pada 1908.

Tulisannya menukik tajam pada kebijakan politik etis yang diterapkan Belanda. "Itu bisa saja mendapat perlawanan dari pribumi, seperti rakyat Amerika Serikat menentang Inggris," imbuhnya. 

Ernest agaknya terpengaruh dengan tulisan-tulisan Benjamin Franklin, tokoh jurnalis yang menggerakan semangat Revolusi Amerika. Tulisannya menggugah para mahasiswa STOVIA untuk berdiskusi tentang pemikirannya.

Kedekatannya dengan para pelajar STOVIA, menjadikan kediaman Ernest Douwes Dekker sebagai tempat berdiskusi, berdeliberasi, hingga taman membaca yang menumbuhkan gelora nasionalisme para pemuda pribumi.

"Rumahnya Ernest jadi bukti adanya upaya para pemuda untuk melahirkan pergerakan, buah dari pemikiran-pemikiran gila Ernest dalam menentang penjajahan," tambahnya. Diantara pelajar STOVIA adalah tokoh pergerakan seperti Cipto Mangunkusumo.

Baca Juga: Marie Thomas dan Anna Warouw, Si 'Kembar' Pelopor Dokter Perempuan di Indonesia

Para pengajar Eropa dan seorang asisten pengajar Raden Soerjatin di School tot Opleiding van Inlandse Artsen (STOVIA), Batavia, pada 1902. Ketika pagebluk pes melanda Malang, dokter Eropa tidak ada yang berminat mengobati penderita pes. (Tan Tjie Lan/KITLV)

Lewat kedekatannya dengan para mahasiswa STOVIA, lahir juga jaringan pergerakan yang menghasilkan gagasan pendirian Budi Utomo, sebagai organisasi politik pertama di era Hindia-Belanda.

Pada waktu yang lain, Ernest terlibat konflik dengan pemilik Batavische Niuwesblad, Zaalberg. Watak kerasnya dalam membela pribumi menjadi latar belakang konfliknya dengan Zaalberg, sehingga dia memutuskan untuk keluar dari Batavische Niuwesblad dan mendirikan koran sendiri yang diberinama de Express, di Bandung.

Kedekatannya dengan Dokter Cipto Mangunkusumo, membuatnya menarik Cipto sebagai salah satu redaktur de Express. Secara bebas dan lepas, Ernest dan Cipto mengobarkan semangat nasionalisme melalui tulisan-tulisan yang diterbitkan de Express.

"Kegeraman Pemerintah Belanda, membuatnya mengasingkan Ernest pada tahun 1913, akibat terlalu berpihak pada kaum bumiputera," tulis Dimas. Sedangkan Cipto, ia ditahan akibat mengkritik perayaan hari ulang tahun Negeri Belanda di Hindia-Belanda.

Sekembalinya dari pengasingan, Ernest bertekad mendirikan Indische Partij yang berbeda. Tak seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam yang bercorak budaya dan agama tertentu, Indische Partij dirancang untuk mencapai kemerdekaan nasional. Dari sini, ia dikenal sebagai tiga serangkai bersama dengan Cipto dan Suwardi Suryaningrat.

Melalui de Express, Indische Partij menjadi organisasi pergerakan yang besar, karena tujuan-tujuannnya yang terarah untuk melawan pemerintahan Belanda dan mencapai kemerdekaan.

Tindakan Ernest yang meresahkan pemerintah Hindia-Belanda, membuatnya ditahan dan Indische Partij dibubarkan. Namun, Ernest tak pernah patah arang, ia menyebar pemikiran anti-kolonialnya melalui dunia pendidikan, saat diminta menjadi pengajar di sebuah sekolah Elenbaas di Bandung.

Bersama dengan istrinya, Johanna, Ernest lantang untuk tidak selalu berpasrah dengan tindakan-tindakan Belanda yang merugikan. Doktrin itu ia sampaikan di Ksatrian Instituut melalui penyelenggaraan sekolah jurnalistik dan pengajarannya.

Beberapa kali dia diancam oleh Pemerintah Hindia-Belanda, hingga akhirnya ia di asingkan ke kamp interniran Jodensavanne di Suriname, karena sikapnya yang terus membangkang pemerintahan. 

Saat Indonesia merdeka, akhirnya Ernest kembali ke kampung halamannya pada 2 Januari 1947. Ia bertemu dengan Soekarno, presiden pertama bangsa yang memberinya nama Danudirdja Setiabudi. 

Ernest Douwes Dekker wafat 3 tahun setelah kedatangannya kembali ke Indonesia, tepatnya pada 28 Agustus 1950 di Bandung. Ia dikenang sebagai salah satu pahlawan nasional yang penyematannya diberikan langsung oleh Soekarno.

Baca Juga: Tiga Ajaran Penting dari Ki Hajar Dewantara untuk Pendidikan Indonesia