Kecerdasan pikiran penduduk bumi putera tiada akan maju dengan pesatnya, apabila kaum perempuan itu ketinggalan dalam usaha tersebut. Perempuan jadi pembawa peradaban (Surat R.A. Kartini Kepada Estele Zechandelaar di Negeri Belanda, 9 Januari 1901)
Bila bicara tentang perjuangan perempuan, pastinya masyarakat Indonesia tidak asing dengan pahlawan-pahlawan perempuan yang turut memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Tetapi pastinya hanya satu nama yang akan terucap bila mengenang jasanya dalam memperjuangkan hak kesetaraan perempuan pribumi. Siapa lagi kalau bukan Raden Ajeng Kartini, sosok pahlawan yang berani memperjuangkan keadilan perempuan ini sudah menginspirasi generasi penerusnya selama lebih dari 100 tahun.
R.A. Kartini beruntung sebagai kaum priyayi bisa merasakan bangku sekolah yang pada masa itu hanya bisa dinikmati oleh kelas bangsawan. Namun sayangnya tradisi budaya Jawa yang begitu kental pun membawa dia pada sebuah kenyataan seorang perempuan Jawa haruslah menjalani masa pingit. Tetapi keadaan itu tidak membuatnya tinggal diam, sembari menjalankan perannya sebagai seorang istri dari K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, ia mendirikan sekolah-sekolah yang ditujukan untuk perempuan pribumi. Hal itu ia lakukan sebagai wujud dari keinginannya membangkitkan hak-hak perempuan yang dikesampingkan oleh budaya patriarki.
Namun, di tahun ini masihkah ada seorang perempuan yang memiliki rasa perjuangan Kartini?
"Peringatan Hari Kartini kali ini menjadi momen untuk merefleksikan diri bagi perempuan. Sebab Kartini adalah sosok yang tidak ubahnya seorang perempuan yang hebat," ujar Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya yang akrab dipanggil Risma.
Baginya Kartini di era modern ini seharusnya mampu melahirkan sebuah karya yang luar biasa dalam bidang apapun khususnya di sektor perekonomian, terlebih lagi bila mau menyadari sudah tidak ada lagi tembok yang membatasi perempuan dalam berkarya.
Risma sebagai sosok Wali Kota yang kerap mengejutkan masyarakat dengan keberaniannya dalam memimpin Surabaya pada kiblat keadilan ini juga memupuk harapan untuk perempuan Indonesia agar lebih bijak memaknai kata emansipasi. "Ya jangan di satu sisi yang menguntungkan perempuan bisa bilang emansipasi, tapi begitu ada sesuatu hal yang merugikan, perempuan tidak setuju dengan emansipasi, kita harus bijak sebagai perempuan," ujarnya.