Berbicara tentang moratorium tidak hanya menyinggung bahwa Indonesia merupakan peraih “emas” dunia di bidang deforestasi, melainkan juga mempertanyakan lemahnya penegakan hukum di negeri ini. Setelah menempuh masa evaluasi dan menuai banyak kecaman, akhirnya sesuai instruksi presiden, moratorium penebangan hutan akan diperpanjang dengan pelbagai perbaikan. Salah satunya adalah rancangan kebijakan hukum yang harus diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengikat pihak terkait aparatur pemerintahan.
Penelitian di wilayah hutan alam primer dan lahan gambut yakni di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah pun diselenggarakan oleh Wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi) dan Kemitraan dari daerah untuk menganalisis kebijakan-kebijakan yang terdapat dalam moratorium.
Hasil analisis yang dipaparkan bersama dalam “Launching Hasil Kajian Analisis Moratorium” lalu (29/4) menjelaskan bahwa lemahnya pemerintah dalam mengontrol pemberian izin untuk pengelolaan hutan primer dan lahan gambut. I Nengah Surati Jaya selaku ketua tim peneliti menyatakan bahwa keberadaan Pemberian Ijin Baru Pemanfaatan Hutan yang sudah direvisi hingga tujuh kali ini justru membawa degradasi yang signifikan, “Pengurangan luas hutan lahan gambut mencapai 914.067 Ha dan 66.398 Ha untuk hutan alam primer. Kebijakan ini harus dilanjutkan dengan upaya pemulihan dan tata kelola hutan yang lebih profesional.” jelasnya.
Selain tidak dapat mengontrol pemberian izin, kebijakan ini dinilai tidak efisien dalam menempatkan wilayah-wilayah yang dinaungi Moratorium. “Untuk apa melindungi hutan lindung dan kawasan konservasi yang memang dari awal memiliki kebijakan untuk steril dari konversi? Seharusnya kawasan moratorium itu diperluas hingga wilayah yang terabaikan seperti karts, mangrove, dan pulau-pulau yang belum mendapat perlindungan.” ungkap Sita Supomo selaku Direktur Program Sustainable Development Kemitraan.
Berkaitan dengan hasil analisis yang dipaparkan, Kemitraan dan Walhi memberikan dukungan untuk perpanjangan moratorium yang setidaknya dilakukan lebih dari dua tahun. Pastinya kebijakan ini harus menerapkan visi dan misi awal dari moratorium, yakni memberi nafas bagi ekositem untuk meremajakan diri.