Kontroversi Pengulikan DNA pada Embrio Manusia

By , Selasa, 5 Mei 2015 | 07:00 WIB

Meski masih ada hambatan terkait masalah etis dan ilmiah untuk mengulik DNA manusia, juga tidak peduli akan perintah penundaan oleh para ahli genetika, para ilmuwan di Tiongkok tetap melakukan pengulikan DNA manusia.

Mereka membuang suatu gen dalam gen DNA manusia bernama beta thalassemia dari 86 embrio non-viabel, yakni embrio yang tidak dapat berkembang menjadi bayi. Dengan membuang gen tersebut berarti membuang gen penyebab gangguan pada darah. Eksperimen itu nyatanya berhasil dilakukan pada tujuh embrio.

Namun, kegiatan memodifikasi embrio merupakan hal yang masih dipermasalahkan etikanya.

Francis Collins, kepala National Institutes of Health mengumumkan kepada masyarakat luas bahwa lembaganya tidak akan mendanai kegiatan mengulik DNA tersebut. Ia mengungkap bahwa kegiatan mengulik DNA “merupakan batas yang tidak seharusnya coba untuk diterobos.”

Masalah keselamatan terkait kekhawatiran akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak dapat disembuhkan menjadi tameng utama mengapa kegiatan ini dilarang. Pemerintah Amerika pun dengan tegas melarang penelitian terkait modifikasi DNA ini dilakukan. Jurnal penelitian Science dan Nature juga bekerja sama dengan menolak untuk menerbitkan hasil penelitian terkait modifikasi embrio oleh ilmuwan Tiongkok ini.

Namun demikian, ada pula ilmuwan yang mendukung penelitian modifikasi DNA. Christopher Gyngell, seorang ahli bioetis mengatakan dalam jurnal Guardian bahwa pelarangan itu justru tidak etis. Perlu bagi ilmuwan dan para peneliti untuk memanfaatkan teknologi pengulikan DNA, membuang gen cacat penyebab kebutaan, tuli, dan semacamnya pada anak (yang dikenal sebagai Tay-Sachs disease). Ia menyayangkan adanya pelarangan kelanjutan penelitian, dan berpendapat bahwa seharusnya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan sikap bertanggung jawab atas apa yang mungkin terjadi sebagai dampak pengulikan DNA bayi manusia.