Menghindari Perang Suriah

By , Rabu, 6 Mei 2015 | 14:16 WIB

Di MV Alios di Laut Mediterania, 33°36'14" LU, 34°6'43" BT

Kami sampai ke gigir berhutan, melalui bekas kebakaran hutan lama di Gunung Carmel, melewati tanah yang bertaburan arang, menembus pepohonan pinus baru. Lalu turun, turun, turun—memantul-mantul menuruni jurang yang membentuk galur melewati desa-desa Druze, turun melewati medan tembak tentara yang terbengkalai, melintasi pedalaman semrawut tempat Nabi Elia diberi makan pada masa pengasingannya oleh burung gagak liar yang diutus Tuhan—atau oleh gembala Arab yang ramah. Belum ada kata sepakat antara cendekiawan Alkitab soal itu.

Perjalanan melintasi Palestina, Tanah Israel, Cisjordan, Jund Filastin—melintasi Kanaan—akan segera berakhir.

Teman perjalanan saya yang berkebangsaan Israel bernyanyi.

Yuval Ben-Ami adalah intelektual publik, penghibur jalanan, penulis, artis radio. Dia pejalan kaki yang tidak kenal lelah. Ponsel saya sering berdering: “Ayo kita jalan kaki,” suara merdu Ben-Ami biasa berkata. “Bagaimana kalau ke Nazareth? Saya tahu toko hummus yang enak di sana!”  Lalu dia pun mengajak saya melintasi padang rumput Galilea yang berkilap bak perunggu polesan di bawah matahari. Kami sudah berjalan kaki melalui Yerusalem Timur dan Barat, membentuk jalur spiral menuju jantung batu kota tua yang terluka itu. Dia sering bernyanyi. Daftar lagunya tak pernah habis, spontan, aneka bahasa. Di pegunungan utara dia mendendangkan balada-balada sendu kepada lanskap kenangan yang hilang.

Yuval Ben-Ami menyanyikan lagu mengembara. Gunung Carmel, Israel. (Paul Salopek)
 

Kami sedang menuju gua-gua yang terkikis dari batuan waktu. Menuju tempat berlindung dari batu, tempat manusia purba pertama pernah membuat perapian, mengintai rusa cokelat muda, memandang laut biru tak bernama yang kelak dikenal sebagai Laut Mediterania. Dari tempat ini, yang berlimpah mata air dan makanan liar, mereka maju perlahan-lahan, bergerak rata-rata lima belas kilometer per generasi, untuk menaklukkan bumi. Atau mereka mundur ke Afrika. Tidak ada yang tahu pasti. Catatan fosil menunjukkan bahwa para Homo sapiens perintis ini menghilang begitu saja di Tanah Suci masa kini. Mereka mungkin bertemu Neanderthal yang berburu di perbukitan kuning Syam. Mungkin kedua spesies homonid itu berbaur, kawin silang, menjadi spesies baru. Atau mungkin keduanya saling membantai. Keduanya terkubur pada cakrawala waktu yang sama, dalam debu gua Gunung Carmel. (Lapisan ini berusia 80.000 hingga 100.000 tahun.)  Tetapi, lalu manusia lenyap selama puluhan ribu tahun. Menghilang. Preseden yang terlupakan. Pertanda. Gejala masalah di persimpangan tertua umat manusia.

Saya pernah menanyakan pendapat Ofer Bar-Yosef, pakar terkemuka tentang migrasi manusia purba, tentang apa yang terjadi antara Neanderthal dan manusia di masa silam di Gunung Carmel. Ilmuwan itu memandang saya seakan saya dungu.

“Lihat yang terjadi di sini sekarang!” katanya. Dia menggeleng kepala kasihan mendengar pertanyaan seperti itu. “Bagaimana menurutmu? Kita menggandeng tangan mereka? Kita membunuh mereka dengan cinta?

Saya dan Ben-Ami akhirnya sampai di lokasi gua di tengah badai.

Hari sudah senja. Pemerintah telah menempatkan maneken yang menggambarkan manusia purba di dalam gua. Lelaki dan perempuan berpakaian kulit, anak-anak berambut jabrik. Mereka balas menatap dengan mata plester, bisu. Mereka tidak mengungkap rahasia. Dalam cahaya petir, dalam bayangan yang terbentuk, mereka seakan bergerak, menari. Pada awal perjalanan saya di Etiopia, manusia sungguhan menari: kaum nomad Afar, bernyanyi dan menjejak sabana dengan sandal, mendendangkan salam perpisahan. Bagi mata yang hanya melihat permukaan, mereka mungkin tampak kasar, kuno. Namun, sebenarnya mereka luar biasa modern. Mereka makhluk super. Andaikan saya orang Neanderthal, saya tentu sudah merinding. Saya tentu mendengar ajal dalam nyanyian mereka.

Menuju Siprus. (Paul Salopek)

Saya mengenang semua ini di kabin gerah di MV Alios, kapal uap kargo yang menuju Limassol, Siprus.

Saya telah meninggalkan Syam. Saya melanjutkan perjalanan. Saya menuju subbenua baru, ke Asia Kecil. Dari sana, saya akan berjalan kaki ke timur selama dua tahun, paling sedikit. Saya memutar untuk menghindari perang saudara di Suriah, perang di Irak, dengan naik kapal laut. Pada malam hari, kapal berdengung ini membentuk jejak gelombang seputih kapur—garis pucat yang menunjuk ke belakang, ke bom waktu yang selalu berdetak di Timur Tengah. Tak lama kemudian, dalam hitungan minggu, Gaza meledak. (Korban jiwa hingga artikel ini ditulis: lebih dari 1.600 orang Palestina dan lebih dari 60 orang Israel.)  Di luar jendela kabin, gelap gulita. Di dalam kabin kecil, udara gerah. Saya melepaskan pakaian. Saya duduk. Saya meneteskan keringat. Saya tidak bisa tidur.