Masyarakat Indonesia tak perlu khawatir bila mengonsumsi produk hasil rekayasa genetika, baik impor maupun hasil rakitan dalam negeri. Hal ini dikarenakan setiap produk yang dikonsumsi masyarat akan diuji terlebih dulu yang meliputi kesepadanan substansial dan pengujian alergi.
"Kalau ada yang berbeda, tentu akan kita tolak, kecuali jika memang disisipi gen yang menghasilkan nutrisi berbeda. Misal kedelai yang menghasilkan gula lebih tinggi, atau beras dengan betakaroten," ujar Ketua Umum Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, Dr. Bambang Purwantara Ph.D ketika dihubungi Kompas.com.
Sedangkan uji alergi dilakukan, karena pangan transgenik rawan menimbulkan reaksi alergi. Menurut Bambang, hal ini dikarenakan penyisipan potongan DNA pada rantai yang sudah ada. Akibatnya terbentuk protein baru, yang belum tentu sesuai ketahanan tubuh konsumen. Lamanya uji tidak sama pada setiap bahan pangan.
"Ada pangan yang membutuhkan studi tambahan, ada yang tidak. Bergantung pada uji yang sudah dilakukan jika pangan tersebut impor," tambah Bambang. Pengujian pangan, kata Bambang, dilakukan di laboratorium yang bersifat independen dan tidak dimiliki perusahaan pengusul pangan. Hal ini berlaku di Indonesia maupun di negara asal bahan pangan.
"Pengujian biasanya dilakukan laboratorium universitas, lembaga pemerintah, atau laboratorium pengujian swasta. Dengan ini maka kemanan pangan transgenik Indonesia bisa dijamin," kata Bambang. Hal ini sekaligus menepis kabar burung yang mengatakan kalau kedelai transgenik impor hanya ditujukan untuk hewan.
Menurut Bambang, dengan uji yang tersedia, tidak mungkin ada kekeliruan membedakan pangan dan pakan. Pakan adalah bahan pangan untuk hewan, sedangkan pangan untuk manusia. "Uji kesepadanan substansial dan alergi hanya ditujukan untuk pangan. Sedangkan pakan ujinya tidak seperti itu," terang Bambang. Kedua uji, menurut Bambang, juga menghapus keharusan penempelan stiker transgenik. Menurut Bambang, hal tersebut dilakukan karena bahan pangan transgenik yang beredar dipastikan aman. "Di beberapa negara seperti Eropa, Amerika, dan Asia memang mengharuskan penempelan label pada pangan dengan kandungan transgenik lebih dari lima persen.
"Jika mau diterapkan di Indonesia tentu tidak masalah, karena memang sudah aman," Bambang yang juga anggota Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika, menjelaskan. Sediakan pilihan bagi konsumen, walau pangan transgenik aman, konsumen tetap harus diberi pilihan. Konsumenlah yang akan menentukan mau atau tidak mengkonsumsi pangan transgenik.
"Karena itu penempelan label menjadi wajib, berapapun kandungan yang ada. Kalau tidak ada label, konsumen tidak tahu informasi tentang pangan tersebut, yang tentunya mencederai hak konsumen," kata Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Selain penempelan label, Tulus juga berpendapat, pangan transgenik harus dilakukan studi ulang di Indonesia. Walaupun pangan tersebut sudah melalui uji serupa di negara asal.
"Kita seharusnya berkaca pada Eropa, Amerika, dan Jepang yang sangat ketat pada peraturan pangan transgenik. Hasil uji di negara asal bisa saja berbeda dengan Indonesia. Hal inilah yang patut diwaspadai," kata Tulus. Apalagi, tambah Tulus, Indonesia adalah pasar besar yang menjadi incaran para eksportir pangan transgenik.