Catatan Jurnalistik Seorang Ningrat Jawa Kala Bertamu di Rumah Raden Saleh

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 20 Mei 2015 | 21:00 WIB
Kediaman Raden Saleh Sjarif Boestaman di Cikini, Batavia. (Woodbury and Pages)

Catatan perjalanannya berjudul Tjarijos Negari Batawi, ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa, yang diterbitkan pertama kali di Batavia pada 1867.

Kali ini dia berkesempatan menyaksikan museum koleksi milik Raden Saleh yang disebutnya sebagai “barang kina”—perabot antik.

Tidak seluruh kumpulan perabot antik itu diperoleh Raden Saleh dari pembelian, ungkapnya, tetapi sebagian merupakan hadiah dari orang-orang Belanda kepadanya. Mereka mengetahui bahwa Raden Saleh merupakan seorang kolektor perabot antik yang rajin merawat koleksinya.

Dalam catatan melancongnya, Raden Arya menulis bahwa salah satu koleksi milik Raden Saleh yang membuat kagum adalah sebuah tombak pemberian Letnan Kolonel Tumenggung Martanagara. Sejarah Perang Jawa mencatat bahwa Sang Tumenggung itu adalah seorang kepercayaan dan menantu Pangeran Dipanagara, dan jelang akhir perang dia bergelar Ali Basah Ngabdulkamil II, setara dengan panglima.

Tampaknya gelar pionir ahli peleontologi di Indonesia patut disandang pelukis itu. Raden Arya mengungkapkan bahwa koleksi tersebut bukan hanya pemberian, tetapi Raden Saleh juga mendapatkannya dari penggalian seperti temuan di kawasan Kedu dan Temanggung. Kemudian dia mengungkapkan bahwa tulang-tulang hewan purbakala itu merupakan hasil penggalian di Sentolo.

Werner Kraus dalam Raden Saleh, The Beginning of Modern Indonesian Painting mengungkapkan bahwa sejak akhir 1865 hingga paruh pertama 1866, Raden Saleh tengah sibuk melakukan ekskursi untuk melukis, berburu naskah dan fosil hingga ke Jawa Timur.

Raden Arya memang tidak mewartakan tentang pertemuannya dengan Raden Saleh. Apakah selama dua kali kunjungannya ke kawasan Cikini, Raden Arya memang tak beruntung menjumpai sang pelukis sohor itu?