Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota dan provinsi harus mengakomodasi penuh Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan (PPLB) agar dapat mewujudkan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih detail dan jelas wilayah kelola masyarakat, sehingga pada akhirnya akan mengurangi konflik lahan.
Hal tersebut menjadi bahasan utama dalam Seminar Nasional JKPP "Mendorong Integrasi Peta Kelola Rakyat Melalui Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan" yang digelar Kamis (21/5). Hadir sebagai pembicara Deny Rahadian (Koordinator Nasional JKPP), Baharuddin Nurdin (Sekretaris Bappeda Luwu Utara), Budi Rario (Kabag Fisik dan Prasarana Bappeda Kapuas), Kusumo Widodo (Kepala Bidang Pemetaan, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim Badan Informasi Geospasial), Budi Mulyanto (Dirjen Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang) dan Nana Apriyana (Perencana Madya Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas).
PPLB merupakan perencanaan penggunaan lahan yang menekankan pada proses partisipatif, menggunakan metode pemetaan partisipatif, dan perencanaan tata guna lahan yang lebih mendetail. PPLB adalah salah satu hasil pengembangan metode pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP).
Melalui PPLB ini, perencanaan masyarakat dimungkinkan terintegrasi dengan RTRW Kabupaten dengan penekanan pada pembangunan kerjasama dengan pemerintah daerah. PPLB telah dilakukan bersama komunitas lokal di Kecamatan Timpah, Kapuas, dan Kecamatan Rampi, Luwu Utara, serta Kecamatan Nangan Mahap, Kalimatan Barat.
Salah satu upaya Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dalam mendorong perluasan wilayah kelola rakyat adalah dengan Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan (PPLB), hasil pengembangan metode pemetaan partisipatif. PPLB merupakan perencanaan penggunaan lahan yang menekankan pada proses partisipatif, menggunakan metode pemetaan partisipatif dan perencanaan tata guna lahan yang lebih mendetail.
Deny Rahadian, Koordinator Nasional JKPP mengatakan bahwa kegiatan PPLB dilakukan untuk mendukung dan memberi masukan kritis pada penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), mewujudkan penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW, serta yang terpenting adalah menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan, dan memanfaatkan lahan bagi masyarakat.
Nana Apriyana, Perencana Madya Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas menyatakan bahwa pada dasarnya sangat mendukung produk-produk perencaaan partisipatif, sesuai dengan kebijakan pemerintah yang mendukung masyarakat sebagai subjek pembangunan. Namun produk-produk tersebut harus diintegrasikan ke lembaga atau kementerian yang bersangkutan seperti peta harus divalidasi oleh BIG, dan substansi materi terkait rencana Tata Ruang dikoordinasikan ke kementerian Agraria dan Tata Ruang. Peta partisipatif akan sangat membantu dalam memberikan informasi kepada masyarakat sekaligus sebagai alat pengendalian pemanfaatan tata ruang.
Budi Mulyanto, Dirjen Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang mengatakan bahwa permasalahan sengketa konflik pertanahan disebabkan berbagai hal seperti ketidakadilan, masalah hukum, batas-batas wilayah dan sebagainya. Tidak semua persoalan sengketa konflik pertanahan dapat diselesaikan dengan pemetaan partisipatif, namun sengketa konflik pertanahan yang berakar dari batas wilayah atau batas bidang dapat dibantu penyelesaiannya dengan pendekatan partisipatif.
Berdasarkan data hasil pemetaan partisipatif tahun 2014, seluas 5,50 juta ha sudah terpetakan, kurang lebih seluas 4,33 juta Ha menunjukkan indikasi tumpang tindih antara wilayah kelola masyarakat dengan kawasan hutan dan seluas 2,89 juta Ha bertumpang tindih dengan perijinan lainnya. Hal itu diakibatkan karena hingga saat ini, pemerintah belum menyediakan data spasial secara detail yang bisa menggambarkan kondisi desa beserta penguasaan ruangnya.
Melalui hasil dari kegiatan PLPB, JKPP memberikan rujukan data dan informasi keruangan bagi pemerintah pusat dalam merencanakan pembangunan di level nasional maupun daerah. Sehingga dapat memperjelas sistem penguasaan dan sistem kelola masyarakat atas ruang dan mampu mengidentifikasi potensi konflik.