Ratusan anak-anak pengungsi Rohingya asal Myanmar yang ditampung di berbagai tempat di Aceh direncanakan akan disekolahkan. Namun, belum disepakati apakah mereka bisa dimasukkan ke sekolah formal atau sekolah di pengungsian.
Setidaknya terdapat 225 pengungsi anak-anak yang masih berusia sekolah SD hingga SMA. Meski demikian, sebagian dari mereka sudah tidak bersekolah sejak masih di Myanmar.
Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Aceh Utara, Amir Hamzah, menuturkan masalah pendidikan bagi anak-anak pengungsi Rohingya sedang dibahas.
"Persoalan itu sedang kita bahas, koordinasikan dan musyawarahkan. Jadi dalam waktu segera mereka bisa mengecap pendidikan walaupun di tempat pengungsian," katanya kepada wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir, Senin (25/05).
"Bagaimana mekanismenya sedang kami atur."Mekanisme itu, lanjutnya, termasuk mempertimbangkan menggabungkan mereka ke dalam sekolah-sekolah yang ada. Akan tetapi kemungkinan itu terhambat kendala bahasa sebab mereka tidak bisa berbahasa Indonesia yang menjadi medium komunikasi di sekolah-sekolah formal.
Untuk saat ini sejumlah lembaga sosial mulai melakukan pendampingan di lokasi-lokasi pengungsian, antara lain memberikan pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
"Kebetulan ada anak yang usianya 17 tahun, fasih berbahasa Inggris jadi dia menjembatani komunikasi kami dengan anak-anak Rohingya. Di samping itu, kita menggunakan bahasa isyarat," tutur Asep Beny, direktur manajemen bencana Dompet Duafa.
"Ketika belajar memasak, kami contohkan kepada adik-adik remaja putri bagaimana memasak tanpa berbicara, tapi mereka mencontoh dengan baik dan hasilnya luar biasa," tambah Asep Beny yang melakukan pendampingan pengungsi di Langsa.
Indonesia telah bersedia menampung lebih dari 1.000 pengungsi Rohingya di Provinsi Aceh selama satu tahun asalkan mereka kemudian dipulangkan atau ditempatkan ke negara lain.
Adapun migran Bangladesh, 720 orang, akan dipulangkan setelah dokumen perjalanan dikeluarkan bagi mereka.