Menyingkap Legenda Uhang Pandak

By , Minggu, 31 Mei 2015 | 13:45 WIB

Saya mendengar kisah Uhang Pandak sudah hampir dua puluh lima tahun yang lalu. Waktu itu masih duduk dibangku sekolah menengah pertama di Sungai Penuh, ibu kota Kabupaten Kerinci. Uhang pandak, menurut cerita yang saya dengar, adalah sejenis hantu jejadian. Keberadaannya disamakan dengan setan gentayangan.

Tapi, kisah itu kemudian berubah. Saya mendengar sekelompok peneliti dari luar negeri tengah mencari keberadaan jenis ini. Sebagian diantara mereka bahkan rela tinggal berlama-lama di dalam hutan untuk mencari berbagai kemungkinan ditemukannya jenis ini.

Saya menelusuri kisah ini, bertemu dengan pakar kebudayaan Kerinci, Iskandar Zakaria. "Matanya merah, berbulu kuning kecokelatan lalu menghilang dibaik semak-semak," ungkapnya saat saya mendatangi rumahnya beberapa waktu lalu.

Dia mengenang kejadian pertemuannya dengan Uhang Pandak 40 tahun silam. Uhang Pandak, katanya adalah sejenis makhluk hidup yang diprediksikan merupakan spesies temuan baru. Keberadaan jenis ini sudah diketahui sejak 1950-an.

Uhang Pandak, kata Iskandar, merupakan misteri yang hingga hari ini belum dapat diungkap. Tapi dia mengaku melihat sendiri keberadaan spesies ini di Gunung Raya, Lempur Kabupaten Kerinci.

"Mereka memakan sejenis bunga dari tumbuhan perdu yang banyak tumbuh di bukit-bukit. Bunganya mirip dengan bunga matahari tapi berukuran lebih kecil. Daun tumbuhan itu sedikit bermiang," ungkapnya.

Dari penelusuran yang saya lakukan, tumbuhan itu adalah sejenis titonia. Paitan dalam bahasa daerahnya. Sejenis tumbuhan yang memiliki kadar nitrogen tinggi. Banyak petani menggunakan tumbuhan ini sebagai penutup tanah di lahan-lahan pertanian.

"Yang aneh, kalau makan ayam, biasanya Uhang Pandak makan sambil terletang. Kaki dan tangannya sibuk megupas kult ayam. Seperti bagi diberi mainan," paparnya.

Saya berencana bertemu Debbie Martyr di Kerinci, bertepatan dengan ekspedisi SAD3805G7. Tapi saya, kami tidak berjumpa. Dalam percakapan kami melalui surat elektronik dan email Debby mengatakan sudah memulai penelitian lapangan sejak tahun 1994 hingga tahu 2000.

Dia mengaku mendengar cerita Uhang Pandak sejak 1989, saat melakukan kunjungan wisata ke Kerinci. Dia kembali untk kunjungan tahun 1993 dan mendalami informasi awal keberadaan jenis ini.

Warga negara Inggris ini mengaku melakukan penelitian di hampir semua kabupaten di wilayah Taman Nasional kerinci Seblat hingga ke Pasaman. Namun fokus area ada di Kabupaten Merangin dan Kerinci (Jambi), Mukomuko (Bengkulu) dan Pesisir Selatan (Sumatera Barat).

Debbie mengaku, jenis ini merupakan primata besar, agak mirip dengan orangutan tapi bukan orangutan karena bewarna kuning kemerahan atau cokelat. Menariknya, lanjut warga negara Inggris ini, Uhang andak memerlukan habitat khusus. Berdasarkan peneltiannya, tidak semua kawasan TNKS merupakan habitat bagi Uhang pandak.

"Kemungkinan besar habitat secara alam adalah perbukitan rendah, bukan pegunungan. Kalauun ada laporan mereka ada dipegunungan, kemungkinan hanya lewat saja," kata Debbie.

Tahun 1990-an, lanjutnya, teknologi pemeriksaan DNA masih terbatas dan mahal. Jika saja teknologi tersebut seperti sekarang, mungkin bukti ilmiah keberadaan jenis ini bisa didapatkan.