Kisah dari Secangkir Kopi Toraja

By , Kamis, 4 Juni 2015 | 19:15 WIB

Dua tahun lalu, Sulaiman mulai mendirikan Warung Kopi Toraja sebagai galeri bagi para petani kopi menampilkan contoh-contoh kopi mereka.

Kafe ini mungkin satu-satunya yang berdiri di Rantepao, Toraja.

"Budaya minum kopi di warung tidak lazim bagi orang Toraja. Mereka minum kopi di upacara adat. Karena itu membuka warung kopi bagi orang Toraja pasti rugi. Tapi saya buat warung itu untuk pembeli."

Di warung kopi ini, para calon pembeli bisa memilih contoh-contoh kopi dan Sulaiman langsung mempertemukan mereka dengan petani.

Kini, Sulaiman bercerita, harga kopi mulai naik di beberapa desa. Kopi di Desa Sapan misalnya sudah seharga Rp20.000 per liter dan di Desa Awan sekitar Rp18.000 per liter.

Kecintaan Sulaiman pada kopi bukanlah tiba-tiba. Kopi ada 'dalam darahnya', diturunkan kakek neneknya asal Bugis yang berdagang kopi di tanah Toraja pada pertengahan tahun 1800-an.

Dia mengerti betul bagaimana memperlakukan kopi dan mempertahankan cara sangrai tradisional.

Salah satu teknik yang berkembang dari 100 tahun yang lalu adalah proses natural dengan diinjak-injak.

"Proses seperti ini akan menghasilkan honey coffee, karena lendirnya yang manisnya tidak keluar. Lendir kopi meresap masuk ke biji yang hijau, rasa itu yang memberi manis."