Kisah Keberagaman Empat Agama di Pelosok Kendal (II)

By , Jumat, 5 Juni 2015 | 16:10 WIB

Keberagaman masyarakat Dukuh Kalipuru, Kabupaten Kendal terpancar jelas dari penghormatannya pada masing-masing agama. Tiga hari dalam seminggu, ada satu hari yang menjadi penanda untuk penghormatan agama lain.

Empat rumah ibadah di dukuh itu berdiri saling berdekatan di sepanjang jalan tak kurang dari 500 meter. Masjid at-Taqwa, Gereja Kristen Jawa (GKJ) Boja, Mushala Suwuan, dan Pura Sita Nirmala Jati.

Selain yang beragama, para penghayat kepercayaan juga hidup berdampingan. Ada tiga hari yang disepakati oleh warga untuk sekadar penghormatan. Hari Rabu untuk agama Hindu, Kamis untuk agama Kristen dan Jumat untuk agama Islam.

"Warga sudah tahu ada hari agamanya masing-masing. Warga juga memiliki tempat ibadahnya sendiri-sendiri," papar Ponidjan, tokoh Hindu dukuh Kalipuru, belum lama ini.

Jalan damai dari warga yang berbeda agama itu buah dari kesepakatan tak tertulis dari warga. Sebelum tahun 1999, kedamaian sudah ada, tapi tidak terjalin dengan baik. Sebelum 1999, warga terbiasa untuk menghadiri perayaan agama tanpa ada aturan.

Mereka yang beragama lain bisa secara berkala mengikuti kegiatan agama lain dengan meninggalkan agama sebelumnya, begitu sebaliknya. Tahun 1999, sebuah kesepakatan itu lahir. Mereka tetap pada agama aslinya, datang untuk sekadar penghormatan.

"Kami sudah ada kesepakatan dari masyarakat, untuk tidak mengejek agama. Traktat itu tak tertulis, namun telah disepakati secara budaya sejak tahun 1999. Sebelum itu, warga terbiasa ikut sana-sini, mengikuti berbagai agama yang ada," tambah dia.

Selain hal tersebut, keberagamaan di Kalipuru bisa kokoh lantaran sudah terjalin sejak lama. Ponidjan beranggapan bahwa keragaman yang ada bersumber dari turun-temurun.

Masyarakat setempat yakin suatu agama sesungguhnya mengajarkan kebaikan. Hanya, perilaku manusianya memang tidak sama. Ada yang baik dan tidak baik. "Kami murni dari keturanan. Tidak ada pendatang dari luar," tambahnya.

Secara umum, penganut agama Islam di Kalipuru masih menjadi mayoritas. Agama Hindu nomor dua dengan pengikut sekitar 159 orang dari 45 kartu keluarga. Sementara agama Kristen mempunyai pengikut ketiga, disusul penganut kepercayaan, ada segelintir orang saja.

Warga juga umumnya bermata pencariaan sebagai petani. Baik warga Hindu Kalipuru maupun masyarakat setempat masih sangat mempercayai ada hukum karma. Jika ada orang berlaku baik, diyakini akan mendapat kebaikan, begitu sebaliknya.

Ponidjan memilih untuk memegang prinsip hidup itu apa, setelah hidup mau apa, dan apa yang mau dilakukan di kehidupan. Untuk itu, selagi masih bisa menolong dan membantu, itu akan dilakukan.

"Kami di sini masih yakin pada hukum Karmapala. Jadinya di dusun ini selama ini tidak ada konflik beragama. Jika ada yang mengusik, biasanya akan mental. Dulu pernah ada jaga yang mencoba merusak tatanan, tapi enggak betah," paparnya.

Namun, seiring perkembangan waktu, harmoni dari warga perlahan memudar. Antara satu agama dengan agama lain komunikasi mereka mulai menurun. Kendati begitu, kehidupan keberagamaan warga masih terjalin baik. (bersambung)