Empat rumah ibadah yang dibangun berdampingan di Dukuh Kalipuru, Kendal, Jawa Tengah menjadi contoh kecil pluralitas masyarakat Indonesia yang begitu tinggi. "Saya pikir Kalipuru ini adalah Indonesia kecil. Semua agama hidup rukun di sini, sesuai Pancasila," ujar Kepala Desa Kalirejo, Kecamatan Singorojo, Marsudi, pekan lalu.
Ungkapan Marsudi itu berangkat dari kondisi toleransi antar warga Dukuh Kalipuru yang tinggi. Dia mengakui, bukan kebijakannya sebagai Kades yang membuat toleransi itu menguat. Sikap hormat-menghormati di antara warga di dukuh itu memang sudah ada turun-temurun.
"Agama di Kalipuru tidak pernah dipermasalahkan. Meski pendidikan kami rendah, tapi kami bisa menjaga kebersamaan, itu sudah tertata sejak dulu. Mungkin pendiri desa ingin seperti itu," papar Marsudi.
Warganya, menurut Marsudi, sudah tidak lagi memikirkan persoalan agama. Hidup lama berdampingan dengan warga berlainan agama sudah cukup dengan tidak menyinggung agama. Apalagi, warga juga sudah terbiasa hidup bersama, berkegiatan bersama.
Di kalangan anak kecil, orangtua juga mendidik anak mereka untuk menjaga sikap toleran tersebut. Sembari belajar di sekolah, anak-anak Dukuh Kalipuru bercengkrama akrab antar penganut agama.
Lingkungan membentuk sang anak untuk belajar toleran. "Anak-anak kecil di sini tidak dijajari soal agama apa yang benar. Mereka sudah faham dengan lingkungan yang ada. Ketika ikut ke gereja atau pura, atau ada acara agama, mereka datang dan makan seperti biasanya. Tidak ada kekawatiran bahwa makanan berasal dari barang yang haram, atau tidak baik. Semua sudah faham, dan hal itu sudah lewat," tambah dia.
Di atas semua itu, Marsudi ingin agar pola pengajaran anak-anak tetap berbasis lingkungan yang ada. Ia tak ingin ada warga lain yang merusak dengan mengajarkan kefanatikan pada agama tertentu. Baginya, kedamaian dan toleransi antara warga lebih penting dibanding fanatisme atas suatu agama.
"Kunci beragama di Kalipuru ini menurut saya, mengajarkan warga untuk tidak fanatik pada agama. Itu kuncinya," ujar Marsudi.