Kisah Kerekatan Hubungan Sosial di Pelosok Kendal (IV)

By , Jumat, 5 Juni 2015 | 16:30 WIB

Kerekatan hubungan sosial di kalangan masyarakat Dukuh Kalipuru, Desa Kalirejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, ternyata diakui banyak pihak.

Supriyanto (36), pemuka agama Kristen di desa setempat, mengaku mempunyai pengalaman berharga ketika bersinggungan dengan warga beragama lain. Seperti lazimnya tradisi yang berlaku, membangun sebuah rumah biasanya dilakukan dengan mengundang tetangga terdekat.

Kala itu, Supri mengundang para tetangga untuk sekadar ikut membantu proses perbaikan. Warga pun diundang, hingga ia tak pernah menyangka bahwa jumlah warga yang datang untuk ikut membantu mencapai tiga kali lipat.

"Hubungan sosial di Kalipuru ini baik. Saat saya punya gawe bangun rumah, dulu saya undang tetangga 15 orang, tetapi yang hadir berapa coba? 50 orang. Artinya, mereka membantu dengan tanpa pamrih. Mereka tidak memandang agama yang dianut warga, meski saya ini Nasrani," kata Supri, awal pekan ini.

Gotong royong

Semangat warga untuk gotong royong diakuinya sangat kuat. Warga tidak membeda-bedakan kepercayaan dan agama yang dianutnya. Bagi masyarakat, agama apa pun diyakini mengajarkan kebaikan dan menolak keburukan.

Hal ini telihat jelas dari setiap kegiatan atau ruang publik tempat warga berkumpul. Masyarakat setempat pun tidak melihat perbedaan agama, serta sudah sepakat tidak akan mempermasalahkan perbedaan agama.

"Agama itu tidak boleh didiskusikan, tetapi dipraktikkan. Kalau diskusi, terus nanti banyak ego yang muncul," ujar pria yang kini merangkap sebagai carik atau sekretaris di Desa Kalirejo.

Secara umum, warga Kristen di Dukuh Kalipuru berjumlah 80 jiwa dari 15 keluarga. Mereka biasanya beribadah di Gereja Kristen Jawa yang terletak di jalan kampung, yang bersebelahan dengan tiga tempat ibadah lain.

Warga Kristen ini melaksanakan kegiatan keagamaan setiap Kamis. Agama Kristen di Kalipuru merupakan agama mayoritas ketiga setelah Islam dan Hindu. Kristen masuk di Kalipuru pada tahun 1980 melalui kakek Supriyanto, Mbah Ayik.

Berdampingan

Seperti kebanyakan warga desa lainnya, mayoritas warga Kristen bermata pencahariaan sebagai petani. Warga dengan agama lain juga mayoritas bekerja sebagai petani. Mereka tetap bisa hidup rukun, damai, tanpa persoalan yang amat berarti.

Supriyanto menjelaskan, tempat tinggal warga satu dan lainnya yang berbeda agama juga tidak ada sekat. Antara penganut satu agama dan agama lain tinggal berdampingan sehingga jalinan toleransi semakin kuat.

"Warga di sini tinggalnya acak, tidak menyendiri atau dikomplekskan jadi satu. Rata-rata warga, entah itu Kristen, Islam, atau Hindu, bertetangga, dan semuanya tidak pernah jadi masalah, berjalan baik seperti biasanya," paparnya.

Empat rumah ibadah yang ada di Kalipuru sudah dibangun berdampingan sejak lama. Jalan kampung yang terbentang tidak lebih dari 500 meter itu menjadi penanda penting keberagaman Kalipuru. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk menjunjung tinggi toleransi dan gotong royong di tengah kehidupan sehari-hari.