Ahmad Fahrial, 64 tahun, seorang pedagang gading gajah ilegal di Aceh Barat, divonis 10 bulan penjara, denda Rp 1,5 juta, dan subsider 8 bulan kurungan oleh Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh, Kamis (4/6), setelah tahun lalu berupaya menjual satu gading dan satu caling gajah, serta 650 kilogram tulang gajah pada polisi yang penyamar sebagai pembeli.
Hakim Ketua yang dipimpin oleh Rahma Novatiana memvonis lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kardono yang hanya menuntut terdakwa satu tahun penjara atas dasar pelanggaran pasal 21 ayat (2) huruf d junto pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pasal ini sendiri menegaskan, barang siapa yang menyimpan, memperniagakan bagian tubuh satwa yang dilindungi diancam pidana dengan penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp100 juta.
Wildlife Crime Unit/Wildlife Conservation Society (WCU/WCS) yang memantau kasus ini sejak awal menyayangkan rendahnya vonis yang diberikan oleh hakim karena kasus ini merupakan bentuk perdagangan organ gajah pertama yang terjadi di Aceh. Legal Advisor WCU/WCS Irma Hermawati yang dihubungi Senin (8/6), mengatakan karena yang memimpin persidangan adalah hakim yang bersertifikasi lingkungan, tadinya dia berharap ada terobosan hukum dengan memberikan hukuman lebih berat dari tuntutan jaksa.
“Harapan kami bisa lebih, tapi hakim berpatokan pada jaksa penuntut umum. Tapi mungkin pertimbangan hakim karena tersangka belum pernah dihukum, sudah lanjut usia, dan sisi kemanusiaan,” kata Irma.
Menurut Irma, Ahmad Fahrial sudah lama terpantau sebagai pelaku jual beli satwa liar di Aceh dan jadi incaran para lembaga pemerhati satwa. Warga Desa Kuta Padang, Kecamatan Johan Pahlawan, ini diketahui memiliki Toko Aneka Satwa di Kota Meulaboh yang diduga memperdagangkan satwa liar. Dia tertangkap atas hasil investigasi WCS yang bekerja sama dengan polisi. Tapi, selama persidangan yang digulirkan sejak 29 Januari 2015, hakim dan jaksa tidak berhasil mengungkap jaringan perdagangan satwa yang melibatkan Ahmad Fahrial.
“Dalam persidangan, terdakwa tidak menceritakan secara detil. Dia hanya mengakui konsumennya lokal saja. Tidak ada pengakuan yang menjurus pada jaringan yang dia miliki. Dia hanya menerima barang dari pelaku bernama Dedi Julian yang saat ini sudah meninggal,” kata Irma.
Ahmad Fahrial dan Dedy Julian ditangkap oleh tim Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Polda Aceh pada 4 Mei 2014 saat hendak menjual tulang dan gading gajah pada Roni Asmui, polisi yang menyamar menjadi pembeli.
Hari itu, Ahmad Farial bertemu Roni selanjutnya terdakwa menghubungi Dedi Julian untuk mengantarkan barang bukti tersebut ke rumahnya. Sekitar pukul 15.30 WIB, Dedi Julian datang membawa sekitar 650 kilogram tulang dan gigi gajah dengan menyewa mobil. Diperkirakan tulang, caling dan gading gajah itu berasal dari dua individu gajah yang dibunuh di Aceh Barat.
Dalam proses penyidikan, tersangka Dedy Julian meninggal karena sakit, sehingga hanya Ahmad Fahrial yang kasusnya dilanjutnya sampai vonis persidangan. Selama itu, Ahmad Fahrial hanya ditahan saat proses penyidikan di Polda Aceh, lalu dilepas dan hanya dikenai wajib lapor.
Sebelumnya, pada satu kasus pembunuhan gajah Papa Genk di Aceh Jaya, 14 orang hanya divonis hukuman percobaan selama 8 bulan. Diperkirakan, jumlah gajah yang mati di Aceh sejak 2012 sudah lebih dari 30 ekor, sebagian mati dibunuh dengan gading yang hilang. Dari sekian kasus gajah yang mati itu, banyak yang tidak diproses secara hukum.