Pengungsi Suriah di Turki

By , Rabu, 17 Juni 2015 | 11:21 WIB

Turki, 36°53'41" LU, 38°25'21" BT

Tentara Turki memotong kawat perbatasan setelah gelap. Pengungsi pun tumpah-ruah ke kebun cabai bera. Jumlahnya ribuan, berjalan kaki, mengusik debu. Menurut pihak yang menghitung hal semacam ini, lebih dari 100.000 jiwa telah menyeberang ke Turki dalam 72 jam terakhir: pengungsian manusia terbesar dari Suriah sejak perang dimulai lebih dari tiga tahun silam. Mereka lari menyelamatkan diri. Suriah tinggal kenangan sekarang. Sudah tidak ada wujudnya lagi.

[keterangan gambar] Sekitar 5.000 orang Suriah berkumpul di perbatasan Turki di sebelah desa Dikmetas pada Jumat malam, 19 Sept, setelah ISIS merebut kendali atas 40 kota atau lebih. (JOHN STANMEYER/VII/NATIONAL GEOGRAPHIC)

Sekelompok pengungsi perempuan dan anak-anaknya duduk bersandar pada sekolah desa. Mereka belum bergerak dari tangga beton panas itu selama dua hari. Mereka tidak tahu harus ke mana. Seolah dengan tidak bergerak, mereka menjadi tak kasatmata. Lebih aman. Dan mereka lelah. “Warga desa datang berlari di kota, berteriak, ‘Lari! ISIS akan membunuh kalian! Lari!’” kata yang lebih tua, bernama Amine. Mukanya sangat terbakar matahari. “Mereka memenggal kepala lelaki dan menjual perempuan yang tertangkap di pasar. Kami mendengar hal-hal ini.”

Ini serangan terbaru ISIS. Di Suriah timur laut, mereka sedang menghabisi orang Kurdi.

Kota perbatasan Turki itu benar-benar kebanjiran pengungsi. Trotoarnya dijejali orang yang membawa buntelan, yang tidak membawa apa-apa. Kerumunan berlalu-lalang tanpa arah, linglung. Sebagian tampak malu, anehnya, seolah-olah tepergok melakukan sesuatu yang lemah hati. Ada yang memegangi siku sendiri. Pekerja muda dari pemerintah kota berjalan di tengah-tengah mereka, membagikan biskuit berbungkus kilap. Selamat datang di Turki. Ini biskuit untuk Anda.

[keterangan gambar] Ribuan lelaki, perempuan, dan anak-anak dari kota Kobani membanjiri kota Dikmetas di Turki pada hari Sabtu, 20 Sept. (JOHN STANMEYER/VII/NATIONAL GEOGRAPHIC)

Saat berjalan kaki dari Afrika, saya bertemu langsung dengan ratusan tunawisma Suriah di sepanjang perjalanan. Mereka ada di mana-mana.

Ada yang memetik sayur makanan di Yordania dengan upah Rp150.000 per hari. (Mereka menerima saya menginap di tenda kumuh mereka.)  Ada yang mengemis di pojok jalan di pelabuhan Mersin di Turki, anak-anak mereka begitu dekil seakan dari kasta sudra. Para perwira di kapal ternak tua yang menyeberangkan saya melintasi Laut Merah tidak bisa berlayar pulang. Mereka tidak punya rumah lagi: Mereka orang Suriah.

Ada sekitar tiga juta orang Suriah yang mencangkung, kepanasan, bergelandangan, dan tercerabut dari kehidupan normal, dari harapan, di seluruh Timur Tengah. Mungkin lebih. Jika ditambah orang Irak yang tersingkir akibat pertempuran limpahan, jumlah total orang yang tercerabut dan melarat di wilayah itu kini mencapai lima juta jiwa. Kalau Anda mengira pengungsian ini tidak akan menyentuh kehidupan Anda, Anda bodoh. Cucu-cucu Anda akan menghadapi akibat dari bencana ini.

Lelaki kurus bernama Ismail berbaring di tikar bersama keluarganya di toko bahan makanan terbengkalai di kota Turki yang penuh sesak itu. Dia pernah berusaha menentang orang ISIS bersama 20 lelaki lain. Desanya bernama Xaneke. Posisi Kurdi sudah bertekuk lutut dua hari sebelumnya. “Mereka punya tank dan kendaraan lapis baja,” katanya, kelelahan, menatap tanah. “Kami hanya punya senapan Kalashnikov.”  Tank itu mungkin perangkat keras Amerika yang bermutu baik, ditelantarkan oleh pasukan Irak yang mundur. Saudaranya ditangkap. Dia berkali-kali menghubungi ponsel saudaranya, tetapi tak pernah ada jawaban.

[keterangan gambar] Sekeluarga pengungsi Suriah yang kini tinggal di SPBU terbengkalai menikmati teh pemberian keluarga Turki setempat di Suric. (JOHN STANMEYER/VII/NATIONAL GEOGRAPHIC)

“Ini buat apa?” tanyanya, melihat saya mencatat. Dia melambaikan tangan, tidak tertarik pada jawabannya. “Apa gunanya itu bagi kami?”  Istri saudaranya, seorang perempuan keriput, terbungkus baju merah, mulai meratap.