Mengukur Dampak Perang bagi Perempuan

By , Sabtu, 20 Juni 2015 | 13:30 WIB

Perempuan Amerika yang menjadi bagian dari perang kini jumlahnya lebih banyak. Dalam waktu dekat, Pentagon mengharapkan mereka berada di tanah pertempuran, sebagai bentuk yang paling menuntut, paling kotor dan paling berdarah. Apakah ini hal yang baik?

Tentara veteran Elspeth Cameron Ritchie dan Anne L. Naclerio membuat buku pertama yang merinci bagaimana perang mempengaruhi kesehatan fisik dan mental dari meningkatnya jumlah perempuan dalam buku Woman at War.

Menampilkan kontribusi dari banyak ahli militer dan akademis, buku ini tidak menganjurkan menempatkan perempuan dalam perang. "perempuan sudah disiapkan dalam pertempuran," kata Ritchie, seorang psikiater yang menerima tiga patch pertempuran sebelum pensiun dari Angkatan Darat sebagai seorang kolonel pada 2010.

Buku juga tidak menyeberang ke dalam kontroversi atas pertanyaan “Apakah perempuan memiliki kekuatan fisik untuk menyelesaikan misi?”. Sebaliknya, buku tersebut mengumpulkan data yang luas tentang pertempuran yang diperuntukkan bagi perempuan, mengingat jumlah tentara, pelaut, angkatan udara dan marinir perlahan-lahan naik, buku ini dapat digunakan sebagai pedoman. Catatannya: perempuan dapat melakukannya, tapi itu mungkin tidak mudah.

Sebanyak 2,5 juta perempuan telah bertugas untuk seraganmya sejak perang revolusi. Jenderal Patricia Horoho sebagai dokter bedah umum tentara, memberi catatan dalam buku tersebut. “Telah dilakukan perubahan kebijakan terbaru, pada Januari 2016, diharapkan semua pekerjaan militer, posisi, dan unit akan terbuka untuk wanita.”.Dia menambahkan, “dengan demikian memastikan mereka akan memainkan peran yang lebih besar untuk operasi militer di masa depan.

Jumlah perempuan yang terlibat dalam operasi tempur AS terus bertambah. Naik dari 770 saat invasi Panama 1989, 41.000 orang di Perang Teluk 1991, 300.000 di Afghanistan dan Irak (pasca tragedi 9/11). Sekitar 15% dari pasukan AS saat ini adalah perempuan. Mereka mewakili 10% dari orang-orang yang dikerahkan ke Irak tahun 2003 dan 2011, dan 8% dari orang-orang yang dikirim ke Afghanistan antara 2001 dan 2013. 2,3% pasukan yang tewas dalam aksi adalah perempuan.

Sebanyak 40 kontributor (termasuk 10 laki-laki) menulis tentang kesehatan perempuan di halaman depan dan tantangannya sebagai tentara dan ibu. “Ibu yang menyebar (menjadi tentara) dapat dianggap tidak peduli atau lalai dibandingkan dengan dianggap melayani tanpa pamrih dan patriotik,” tulis psikiater tentara Elizabeth C. Henderson. “Dapat lebih diterima budaya bagi laki-laki untuk pergi berperang.”