Bulan kita diselimuti oleh awan. Awan itu bukan tersusun atas uap air seperti di bumi, melainkan terdiri dari debu. Awan itu juga tak kasatmata.Studi yang dipublikasikan di jurnal Nature pada Jumat (18/6) mengungkap bahwa awan itu ternyata berasal dari debris komet."Hujan meteor Geminid memicu hujan meteor di bumi, tetapi hujan meteor itu takkan memicu fenomena yang sama di bulan," kata Mihaly Horanyi, fisikawan Universitas Colorado."Debris komet itu menghantam permukaan bulan dan meningkatkan densitas debu selama beberapa hari," imbuhnya seperti dikutip Los Angeles Times, Kamis.Setiap hari, ada sekitar 100 ton debu kosmos yang menghantam permukaan bumi. Bulan, karena berukuran lebih kecil, hanya menerima 5 ton.Namun, karena bulan tak memiliki udara, debris kosmos langsung menghantam permukaannya dan menyebabkan letupan-letupan kecil.Horanyi menjelaskan, hantaman debris kosmos itu menyebabkan debu bulan terangkat hingga ketinggian 200 kilometer di atas permukaan.Debu itu tetap bertahan melayang karena tak bisa "lari" dari gravitasi bulan, membentuk awan. Selanjutnya, debu itu jatuh lagi ke permukaan bulan.
Proses hantaman debris kosmos, naiknya debu, dan jatuh lagi itu berlangsung terus-menerus seperti halnya siklus air di bumi.Dalam jangka panjang, proses itu bisa menghapus jejak astronot di permukaan bulan yang ditinggalkan dalam misi Apollo 11.Awan debu yang menyelimuti bulan tak tersebar merata. Ada satu sisi bulan yang memiliki jumlah awan lebih besar.Awan serupa dengan di bulan pertama kali dijumpai di Jupiter lewat observasi dengan detektor pada wahana Galileo milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA).Awan debu bulan kali ini sendiri ditemukan lewat observasi dengan wahana Lunar Atmosphere and Dust Environment Explorer (LADEE) pada tahun 2013.Menurut ilmuwan, awan debu itu bisa terdapat hingga ketinggian paling rendah 500 meter dari permukaan bulan.Dengan hasil riset ini, ilmuwan meyakini bahwa semua benda langit yang tak beratmosfer akan memiliki awan debu, termasuk bulan di Mars dan Jupiter.Dampak dari itu, kata Zoltan Sternovsky dari Universitas Colorado, "Anda bisa menganalisis permukaan benda langit tanpa perlu mendarat di permukaannya."