Negeri Malaka di Malaysia merupakan salah satu wilayah penting dalam penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara.
Sejak didirikan, Kesultanan Malaka mendapatkan pengaruh dari para pedagang Arab, India, dan Tiongkok sekitar abad ke-14 dan ke-15. Maklum, Malaka merupakan kota pelabuhan dan lokasi perdagangan nan strategis.
“Pedagang dari India dan Arab itu mengajarkan Islam ke kesultanan yang ada di Malaka, kemudian menyebar ke Trengganu, Pahang, Johor,” jelas Profesor Zainal Kling, pakar sejarah Islam dari Universitas Malaya, Malaysia, kepada jurnalis BBC Indonesia, Sri Lestari.
Selain ke Semenanjung Malaya, Islam dari Kesultanan Malaka menyebar ke Sumatera dan Kalimantan. Hal ini, menurut Profesor Zainal Kling, tidak lepas dari latar belakang pendiri Kesultanan Malaka.
Kesultanan Malaka didirikan oleh Parameswara, yang merupakan orang Melayu beragama Hindu keturunan Raja Sriwijaya. Parameswara lalu mengganti nama menjadi Muhamad Iskandar Syah setelah masuk Islam.
Sultan Iskandar Syah lantas menguatkan relasi dengan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah yang kini menjadi Indonesia dengan menikahi putri dari Kerajaan Samudera Pasai di Aceh.
!break!Pasukan Aceh
Tetapi, kejayaan Kesultanan Malaka ini tidak bertahan lama setelah datangnya pasukan Portugis dan Inggris pada 1511. Akibatnya, wilayah ini menjadi pusat pemerintahan kolonial.
Zainal mengatakan setelah diduduki Portugis, Inggris kemudian Belanda, Kesultanan Malaka pun runtuh. Pemimpin terakhirnya, Sultan Mahmud, melarikan diri ke Pahang lalu ke Johor. Dia meninggal pada 1628.
"Keturunan langsung Sultan Malaka sempat berkuasa di Pahang dan Johor tetapi kemudian putus juga diganti dengan keturunan para temenggungnya," jelas Zainal.
Ketika Malaka berada dalam kekuasaan penjajah, pasukan Aceh pernah berupaya untuk menyerang kekuasaan Portugis. Namun, itu pun berakhir dengan kekalahan Aceh.
Dua tokoh penting pasukan Kesultanan Aceh, yaitu Panglima Pidi dan Syamsudin Al Sumatarani, meninggal. Jasad Panglima Pidi dimakamkan di Bukit Cina, sementara Syamsudin Al Sumatarani di Kampung Ketek di Malaka.
Sejak penjajahan itu pula banyak pendatang dari Tiongkok masuk yang dikenal dengan sebutan Babah dan Nyonya. Hingga kini jejak para pendatang dapat disaksikan melalui arsitektur kawasan kota tua Malaka.
Tak hanya itu, keragaman agama, budaya dan suku, toleransi beragama dapat langsung dirasakan.
Dua masjid tertua di Malaka, yaitu Kampung Hulu dan Kampung Kling, terletak di tengah-tengah permukiman etnis Tionghoa. Di depan masjid, warung pun tetap diijinkan buka pada saat Ramadan.