Menjelang pementasan proyek berjalan ‘Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi’ (YFaWKA), Teater Garasi/Garasi Performance Institute terus mempersiapkan diri. Pada Senin malam, mereka melakukan gladi resik di Auditorium Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri (PKKH) UGM.
Dalam jumpa pers seusai gladi resik, sutradara Yudi Ahmad Tajudin sedikit bercerita tentang proses yang mendorong terciptanya karya ini.
YFaWKA adalah pementasan yang berangkat atas pembacaan mereka situasi-situasi di Indonesia pasca 1998. Sebelum karya ini, penjelajahan isu dan tema tersebut telah menghasilkan ‘Je.ja.l.an’ (2008) dan ‘ Tubuh Ketiga’ (2010).
Menurut Yudi, YFaWKA menjadi bagian terakhir dari proyek berjalan Teater Garasi sebelumnya, ‘Tubuh Ketiga’ (2010) yang dianggap belum selesai. Keinginan untuk melanjutkan karya tersebut sebenarnya sudah ada sejak tahun 2011. Hal itu dilatarbelakangi atas pembacaan-pembacaan pasca ‘Tubuh Ketiga’, yang diistilahkan sebagai ‘dunia dalam’ oleh Yudi.
YFaWKA sekaligus merupakan bentuk yang lebih lengkap dari ‘Sehabis Suara’, satu nomor pertunjukan pendek yang dipentaskan mereka di Erasmus Huis, Jakarta pada 26 Maret 2014. Pertunjukan work in progress tahun lalu itu merupakan bagian dari rangkaian acara Penyerahan Penghargaan Prince Claus oleh duta besar Kerajaan Belanda, His Excellency Tjeerd de Swan, pada Teater Garasi.
Proses melengkapi ‘Sehabis Suara’ dimulai di tahun yang sama, dan semakin intensif di bulan April tahun ini. “Di awal tahun ini, kami merasa bahwa penggalan puisi Pak Sapardi itu (Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi) ternyata mewakili proses yang kami dapatkan,” ujarnya.
Berbeda dengan ‘Tubuh Ketiga’ yang dianggap sebagai perayaan ekspresi kultural yang hadir dari pertemuan, YFaWKA adalah hasil dari pertanyaan, ‘Setelah perayaan (chaos), lalu apa?’.
“Yang ngga pernah selesai kan bagaimana kita menyikapi kekerasan, menyikapi masa lalu. Dalam beberapa diskusi kita selalu terbentur itu,” ujar alumni UGM ini.