Permata, Primadona Sinema yang Dimakan Usia (2)

By , Jumat, 26 Juni 2015 | 11:45 WIB

Sore itu (25/6), saya mampir ke Jl. Sultan Agung untuk melihat gedung Permata. Sedikit heran karena catnya nampak baru. Di dinding bekas pintu masuk, bagian atas, terdapat mural berukuran besar. Tahun 2002, Apotik Komik bekerjasama dengan Aaron Noble me-mural dinding Permata, dalam rangkaian Sama-sama Project. Mural itu kemudian diberi nama ‘Matahari’. Sampai hari ini, mural itu masih nampak jelas.

Di bekas dinding yang dulu digunakan untuk menempel spanduk film yang diputar, terdapat dua spanduk yang kini menghiasi dinding itu. Satu spanduk partai, satu spanduk kajian rohani.

Akhirnya saya menyeberang, mendatangi warung kelontong yang berada tepat di seberang gedung bioskop. Pemiliknya bernama Tan Tik San. Dia, istri dan seorang karyawannya sedang melayani beberapa konsumen.

Pak Tiksan tinggal seberang bioskop itu sejak kecil. Ayahnya membawanya ke Yogyakarta pasca perang 1949. Yang itu berarti Pak Tiksan melihat bioskop ini setiap hati, kecuali jika dia sedang pergi jauh atau tidak pulang.

Meski sudah hampir lima tahun berlalu, dia menyayangkan ditutupnya bioskop ini . Dan selama itu, dia tidak melihat tanda-tanda gedung di seberangnya akan digunakan untuk kegiatan lain.

“Gedung ini kan termasuk bangunan cagar budaya. Kalau ada yang puny ide untuk pemanfaatan gedung itu akan bagus,” paparnya. Seperti kebanyakan bangunan lama di daerah Loji (0 kilometer), gedung bioskop ini didesain dengan nuansa Eropa.

Mengingat bioskop ini didirikan tahun 1946, dapat dimengerti jika bentuknya lekat dengan nuansa kolonial.

“Cuma besok tanggal 27 Juni ada syuting film dari sutradara Garin Nugroho,” ujar pria berumur 62 tahun ini. Pantaslah dinding di gedung itu catnya diperbarui. Setahu Pak Tiksan, pengecatan gedung itu dilakukan sebelum puasa.

Berkaitan dengan tutupnya bioskop, Pak Tiksan mengatakan kemungkinan besarnya adalah persaingan dengan bioskop-bioskop baru. “Untuk film unggulan, bioskop ini ngga pernah dapat.”

“Sekarang ada XXI yang dapat film unggulan,” ujarnya. Menurutnya, persoalan di atas berkaitan dengan distribusi film. “Mungkin karena dana ya,” lanjutnya.

Selain persoalan distribusi film dan dana, persoalan lain adalah lahan parkir. Letak bioskop ini memang sangat dekat dengan jalan raya. Yang membatasi antara gedung dan jalan hanyalah trotoar. Kerugian lain, gedung ini berlokasi tepat di persimpangan jalan, yang mana terdapat lampu lalu-lintas.