Negara-negara ASEAN hingga kini belum mencapai konsensus mengenai instrumen legal mengenai pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi buruh migran, menurut Rafendi Djamin, wakil Indonesia untuk Komisi HAM antar-pemerintah ASEAN (AICHR).
Menurut Rafendi, isu yang masih buntu hingga kini terkait soal apakah dokumen itu menjadi dokumen yang mengikat secara hukum atau hanya sebuah kesepakatan. Padahal, lanjutnya, keinginan Indonesia adalah mempunyai instrumen perlindungan buruh migran yang mengikat secara negara-negara anggota ASEAN secara hukum.
Negara yang masih kurang setuju agar dokumen tersebut dibuat mengikat, menurut Rafendi, adalah negara penerima buruh migran terbanyak yaitu Malaysia dan Singapura. Kedua negara itu beralasan bahwa mereka telah memiliki kebijakan tersendiri di negaranya terkait pengaturan buruh migran, ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, konvensi buruh migran menyatakan bahwa perlindungan harus diberikan bukan hanya kepada buruh migran tetapi juga keluarganya, sedangkan kedua negara itu tidak mau.
Dia mengatakan perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran baru akan efektif bila ASEAN sudah punya kerangka hukum yang mengikat.
"Cakupan dari perlindungan itu kalau bagi Indonesia dan beberapa negara anggota ASEAN yang lain perlindungan buruh migran itu karena karakter dari arus migrasi juga termasuk perlindungan bagi keluarganya. Ini yang Malaysia misalnya tidak bisa terima, perlindungan juga diberikan kepada keluarga," ujar Rafendi, dalam debat publik "Menuju Masyarakat ASEAN Pasca 2015 yang Berpihak pada Buruh Migran", yang digelar di Erasmus Huis, Jakarta, Senin (29/6).
Rafendi mengatakan bahwa instrumen legal perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia buruh migran sangat penting bagi negara ASEAN sehingga dapat meningkatkan kualitas perlindungan buruh migran dalam arus migrasi dari negara pengirim ke negara penerima kembali ke negara pengirim.
Selain itu, tambahnya, instrumen itu juga dapat mewujudkan adanya standardisasi perlindungan sosial bagi semua buruh migran di negara ASEAN.
"Nah itu ada jalurnya, kerjasama antara menteri-menteri kesejahteraan sosial. Dari segi perlindungan sosial mempunyai standar yang sama sehingga buruh migran pun mempunyai perlindungan standar yang sama, sama seperti perlindungan terhadap buruh-buruh negara penerima sendiri," ujarnya.
Data Komisi HAM antar Pemerintah ASEAN menyatakan bahwa saat ini jumlah penduduk ASEAN mencapai 650 juta orang. Dari jumlah tersebut 148 juta diantaranya berpendapatan kurang dari US$2 per hari dan 28,8 juta lagi berpendapatan kurang dari US$1.
Ada 14 juta buruh migran yang di ASEAN, lima juta diantaranya berasal dari Indonesia.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, kemacetan instrumen hukum di ASEAN tidak menyandera perbaikan di tingkat nasional. Indonesia, tegasnya, tidak akan menerima jika instrumen itu tidak mengikat secara hukum.