Penelitian Kelelawar Penyebar Penyakit

By , Jumat, 3 Juli 2015 | 12:30 WIB

Seorang penduduk lokal Kelurahan Kampal, Kecamatan Parigi, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, diminta bantuannya untuk mengikat tali di ketinggian pohon kelapa. Pukul 16.00 WITA, mereka mulai memasang jaring kabut penangkap kelelawar. Delapan orang peneliti sedang memperkirakan jalur kelelawar, salah satunya melalui celah antara dua batang kelapa. Di sanalah jaring selebar tiga meter itu dipasang. Dengan sitem seperti memasang bendera, yang bisa dikerek naik turun, jaring itu membentang di antara dua batang pohon. Tak jauh dari tempat jaring diikat, ada pohon kersen dan beberapa buah-buahan. Juga serangga yang menjadi makanan kelelawar.

"Tidak memakai umpan. Kami cukup memakai jalur lewat kelelawar terbang sehingga menabrak jaring," kata Vivi Lisdawati, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP), Balitbangkes. Perangkap macam ini untuk menangkap kelelawar pemakan buah. Sedangkan untuk menangkap kelelawar pemakan serangga, menggunakan jaring harpa. Seperti alat musik harpa yang terdiri dari banyak senar yang berfungsi untuk menghalangi kelelawar terbang.

Pemasangan jaring harpa untuk menangkap sampel kelelawar di wilayah Parigi Mouton, Sulawesi Tengah. (Titik Kartitiani)

Untuk jaring kabut, akan memerangkap kelelawar di bidang jaring, sedangkan tali nilon di jaring harpa hanya untuk menghalangi terbang, lalu kelelawar jatuh ke bawah karena di sana ada cekungan kain yang berfungsi untuk menampung. Kelelawar pemakan serangga umumnya berukuran lebih kecil dan terbang lebih rendah dibandingkan pemakan buah.

Setelah keempat jaring kabut dan satu jaring harpa terpasang, peneliti menunggu hingga pukul 19.00 WITA untuk pengamatan pertama. Selanjutnya setiap jam sampai dini hari, didatangi untuk mengambil kelelawar yang terperangkap. Bila terlalu lama, kelelawar bisa merusak jaring. Atau mati sehingga tidak bisa diambil sampelnya.

Sampel kelelawar yang diawetkan dengan formalin. (Titik Kartitiani)

Setelah mendapatkan kelelawar, pada saat itu juga harus diproses pengambilan sampel di laboratorium lapangan. Sampel yang diambil berupa sampel darah, ginjal, paru , dan swab tenggorokan. "Beragam penyakit bisa ditularkan dari saliva (ludah) kelelawar," terang Vivi. Bisa melalui gigitan, walau pun ini jarang terjadi. Atau melalui buah yang sudah dimakan kelelawar lantas dimakan manusia. Bila ludah mengandung penyakit, maka akan sampai ke manusia.

Kelelawar dikenal sebagai reservoir rabies. Di Indonesia, sejauh ini, Mers co-V dan Ebola yang bisa ditularkan melalui kelelawar memang belum ditemukan, tetapi untuk Nipahvirus telah ditemukan. Dari penelitian ini akan diketahui, apakah kelelawar di Indonesia positif mengandung penyakit atau tidak. Termasuk juga keragaman spesies yang ditemukan bisa menjadi data yang lengkap untuk tindakan pencegahan penyakit yang mematikan tersebut.

Pengepakan sampel kelelawar. (Titik Kartitiani)

"Ada jenis yang endemik Sulawesi," kata Jastal, Kepala Balai Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (Balai Litbang P2B2) Donggala, Balitbangkes sambil menunjukkan jenis kelelawar yang ditemukan selama sebulan. Rousettus celebensis merupakan jenis endemik Sulawesi. Selain itu jenis Styloctenium wallacey, Dobsonia exolata, D. crenulata, Cynopterus brachyotis, Macroglossus minimus, Hipposideras cf. cineraceus, dan Hipposideros sp.

Sulawesi termasuk pulau yang menyimpan banyak ragam jenis kelelawar. "Kita belum tahu, apakah ada kelelawar yang membawa penyakit atau tidak. Tetapi di sini, kerap ditemukan penyakit demam yang tidak terindentifikasi. Data pendukung juga penting," tambah Vivi. Ada satu tim, terdiri dari 4-6 orang, di setiap provinsi yang bertugas untuk mengumpulkan data sekunder dari fasilitas kesehatan di lokasi pengumpulan sampel terkait kasus penyakit yang ada di wilayah tersebut.