Mimpinya sudah ada sejak mahasiswa. Itu tiga dekade lalu. Badan masih kurus, langkah gesit, dan penyakit hanya batuk, pilek dan demam. Obatnya cukup ketoprak atau mi instan telor. Sekarang sudah tambun, langkah tertatih, dan penyakit sudah perlu diobati dengan cedocard. Mimpi lama mendaki Carstensz muncul lagi.
Carstensz Pyramid (4.848 meter) bukan yang tertinggi di bumi. Itu masih miliknya Everest (8.848 meter). Tapi Carstensz Pyramid dibaptis sulit. Baca saja Beyond Everest, karya Pat Morrow. Ia termasuk yang pertama mendaki tujuh puncak di tujuh benua. Artinya ia mendaki ke Everest dan juga mendaki ke Carstensz Pyramid. Carstensz disebutnya difficult, Everest tidak.
Puncak Carstensz berada di atas tebing batu setinggi 600 meter. Tidak cukup hanya jalan saja, mencapai puncak Carstensz harus panjat tebing. Harus bisa pakai harness, tali penyambung dengan ascender. Dan kala turun, fasih menggunakan descender.
Figure of eight, jumar, simpul bowline, dan clove hitch, tiga dekade lalu juga fasih diucapkan. Setelah lulus kuliah, meniti menjadi financier, akuntan senior, pejabat bank, pedagang, pengusaha semua terlupakan.
Begitulah keadaan anggota Fit@Fifty. Djani, Manung, Rahardjo atau Bedjo, Ade, Ari, dan Paido. Lupa-lupa ingat sama panjat tebing, tetapi masih hafal dengan mimpi mendaki Carstensz. Lainnya masih ingat karena jadi praktisi atau belum mencapai gocap. Adi, Agung, Nizar, Dade, Agi, Ridwan, Firman dan Tebe.
Kembali ke gunung berawal dari tahun 2009 ketika yang berusia setengah abad anjangsana ke basecamp Everest. Mereka awali dengan lari-lari keliling Senayan. Kemudian cita-cita naik setingkat lagi ke Kilimanjaro dan Chulu West. (Baca juga Pendaki Indonesia Selamat dari Badai Salju di Himalaya)
Badai Annapurna yang dialami saat ke Chulu West 2014 bukannya meredupkan impian dan membangunkan kenyataan. Ketika Nizar Suhendra mengabarkan bahwa mereka bisa mendapatkan izin PT Freeport Indonesia melalui kawasannya untuk mendaki Carstensz semua euforia. Mimpi berganti jadi tindakan.(Baca juga Di Pusaran Siklon Tropik Hudhud)
Program remedial panjat tebing pun dimulai. Lari keliling bekas kampus mereka di Depok. Kemudian menjajal panjat tebing artifisial. Latihan pakai harness dan meniti tali ke atas menggunakan ascender. Turun melalui tali yang disebut rappel.
Puas di batu buatan dari plastik, pasir dan serat serta epoxy, pindah ke gamping. Berlatih ke Citatah, Tebing 125meter tempat pasukan elite nasional kita berlatih daki serbu. Tidak cukup Agi, Ridwan, Firman, dan Tebe yang nama bagusnya Ryan, membantu. Tali-tali sekolah Skyger dipinjam untuk memudahkan latihan. Pasti para pelatih Skyger sehari-hari berkutat di tebing cemas, campur kagum atau merinding. Calon geriatri masih manjat, dan bahkan sempat menjatuhkan figur of eight saat meniti tali ke atas. Bagi pakar panjat, menjatuhkan alat turun tabu. Bagaimana bisa pulang jika alat turun tidak ada? (Baca juga Jejak Pendaki Senior di Atap Nusantara)
Tidak cukup di Citatah, latihan dirancang Agi yang sudah berkali-kali mengantar pendaki ke Carstensz Pyramid dengan jumar di Gunung Parang. Jalur via Ferrata yang sedang dirancang dan diselesaikan Bibin dipakai untuk pengaman latihan. Dua kali naik turun tali setinggi 40 meter dilakukan.
Tim pun dibagi menjadi dua. Bukan karena tersedia dua tali tetapi untuk praktis di pendakian nanti. Jalur mendaki Carstensz melalui tyrolean traverse. Ini untaian kawat baja yang harus diseberangi dengan bergantung pada pulley. Bagi awam, melampaui ini akan makan waktu. Jadi daripada 14 orang saling tunggu lebih baik dibagi dua menjadi masing-masing tujuh.
Latihan tetap diimbuh dengan lari dan aerobik serta latihan metoda masa kini seperti plank dan burpee. Pekerjaan membuat anggota Fit@Fifty berlatih seperti masa kuliah dulu. Absennya gantian. Apakah ini cukup untuk mendaki Carstensz? Lihat saja.