3 Jenis Binatang Pembawa Penyakit Mematikan Diteliti

By , Jumat, 3 Juli 2015 | 17:00 WIB

"Kalau ditanya, di mana daerah yang populasi vektor dan resevoirnya paling banyak? Kita tidak punya data," kata Vivi Lisdawati, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP), Balitbangkes. Data yang tak lengkap ini menyebabkan upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit belum optimal, padahal biaya tindakan kuratif lebih mahal dibandingkan pencegahan (preventif).

Karena itu, mulai 15 Mei -15 Juni, B2P2VRP mengadakan Riset Khusus Vektor dan Reservoir Penyakit (Rikhus Vektora) tahap pertama meliputi Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah dan Papua. Riset akan dilaksanakan di 34 provinsi secara bertahap. Tahap ke-dua akan dilaksanakan pada tahun 2016 (17 provinsi) dan tahap ke-3 tahun 2017 (13 provinsi). Setiap provinsi dipilih 3 lokasi.

Sampel jentik nyamuk yang dikumpul oleh peneliti di bidang kesehatan. (Titik Kartitiani)

Tiap lokasi memiliki ekosistem hutan, pantai, dan non hutan pantai. Setiap ekosistem, pengumpulan data dilakukan di dekat dan jauh dari pemukiman. Pada akhir riset akan terkumpul lebih kurang 306.000 spesimen nyamuk, 12.240 spesimen tikus, dan 24.480 spesimen kelelawar.

Riset ini bertujuan untuk memperbaharui data vektor dan reservoir penyakit di Indonesia, untuk mendukung dan mengoptimalkan penanggulangan penyakit infeksi yang ditularkan oleh binatang. Baik penyakit infeksi lama yang timbul kembali (re-emerging infectious diseases) ataupun penyakit infeksi baru (new emerging infectious diseases).

Pemasangan jaring harpa untuk menangkap sampel kelelawar di wilayah Parigi Mouton, Sulawesi Tengah. (Titik Kartitiani)

Vektor nyamuk, reservoir tikus dan reservoir kelelawar dipilih karena ketiga binatang ini paling banyak menyebarkan penyakit di Indonesia. "Ketiganya hidup berdampingan dengan manusia," kata Vivi. Kemungkinan manusia bersinggungan dengan binatang ini sangat besar. Penyakit yang disebabkan oleh nyamuk yaitu malaria, DBD, chikungunya, filariasis, dan JE (Japanese Enchepalitis) yang merupakan penyakit endemis di Indonesia. Tikus dan kelelawar dipilih karena merupakan pembawa penyakit leptospirosis, pes, hantavirus, ebola, nipahvirus, Mers Co-V dan lain-lain.

Meningkatkan Kemampuan SDM Lokal

Menjelang senja, salah satu tim reservoir dari 48 tim yang serentak disebar di 4 provinsi (24 tim reservoir dan 24 tim vektor), sedang memasang jaring penangkap kelelawar di Kelurahan Kampal, Kecamatan Parigi, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Kali ini, jaring dipasang di ekosistem non hutan dekat pemukiman. Delapan orang anggota tim yang terdiri dari pengumpul data dari beberapa UPT, termasuk UPT lokal memasang 4 jaring besar dan 1 jaring kecil yang dinamai harpa.

Sampel kelelawar yang diawetkan dengan formalin. (Titik Kartitiani)

"Selain mengumpulkan data, tujuan lain dari penelitian ini juga melatih tenaga lokal," kata Vivi. Tenaga lokal yang terlatih mengumpulkan data dengan SOP, akan mengajarkan pengetahuannya kepada staf lain. Ke depannya diharapkan bisa melakukan surveilans penyakit tular vektor dan reservoir secara optimal.

Ibrahim, salah satu pengumpul data dari tim vektor yang base camp-nya tak jauh dari lokasi, berkunjung sore itu. Ia sudah menyelesaikan tugasnya, mengindentifikasi nyamuk. "Baru kali ini bisa main. Karena sekarang saya sudah mulai hafal dengan spesies nyamuk," kata Ibrahim yang kesehariannya bertugas di KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan) Makassar. Sebelum mendapatkan training untuk penelitian, ia mengaku tahu nyamuk sebatas genus. Itu pun hanya tahu Anopheles dan Culex.

Kini, setelah mengumpulkan lebih dari 9.000 spesimen selama hampir satu bulan, Ibrahim sudah lebih cepat mengidentifikasi. Selain itu, ia juga tahu alat-alat yang sebelumnya tak dikenalnya sebelum penelitian.