Mengingat Kembali Tragedi Carstensz Pyramid Tiga Dekade Silam

By , Senin, 6 Juli 2015 | 19:30 WIB

Tiga yang berangkat pada 20 April 1981. Hanya dua yang kembali dari dinding Carstensz Pyramid. Hendi tertunduk lesu dan menangis. Paido tampak sedih dan letih sekali. Tono yang tertinggal, memberi kabar tangannya patah. Paido terus turun ke Tembagapura mencari bantuan evakuasi helikopter.

"Waktu helikopter mendarat, gue lihat kakinya di luar," tutur Paido. Ia terdiam sejenak, kemudian mengatakan yang tidak perlu, ia menangis tersedu. Paido Panggabean (58) mengisahkan ini di kaki Carstensz Pyramid 34 tahun kemudian. Hartono Basuki gugur 21 April 1981 karena lukanya.

Tiga dekade kemudian Paido bergabung dengan Fit@Fifty yang akan mendaki Carstensz Pyramid. Kami semua sudah lupa pada tragedi yang meninggalkan luka dalam bagi Mapala Universitas Indonesia. Hanya rincian teknis yang dibicarakan, di mana kejadiannya, siapa yang di sana. Bahkan adik-adik Mapala abad 21 sudah tidak paham tragedi ini.

5 Juni 2015, Paido yang terakhir sampai di kemah teras besar (4.600 meter). Ia masuk tenda dan menggigil keras. Ransel, sepatu, harness tergeletak di luar pintu tenda. Tertimbun hujan es. Air hangat tidak menghentikan gemetar dinginnya. Kantung tidur yang ada langsung menyelimutinya. Sesekali ia terduduk mau muntah. Tidak ada yang keluar.

Paido sendiri mengatakan ia khawatir hipotermia. Di pemanjatan ia sempat mengganti pakaiannya yang kuyup. Namun, tiba di tenda pun pakaiannya sudah basah lagi. Kami bermalam tidak jauh dari tempat Tono gugur. Tempat dimana Paido bermalam dalam ceruk batu menunggu Hendi dan Tono yang naik mengambil bendera Mapala UI yang tertinggal di ransel.

Bendera itu begitu penting bagi Tono dan kawan-kawan. Itu Panji yang diusung tim pertama Mapala UI ketika mendaki Puncak Jaya tahun 1972. Sepuluh hari setelah pendakian epik di jalur baru Dinding Selatan Carstensz, Tono dan Hendi kembali naik. Paido yang sebelumnya bertugas penelitian ikut membantu membawa ransel perbekalan mereka.

Sekarang, kami semua yang di teras besar mencemaskan nasib Paido. Akan tetapi, perlahan suara Paido makin tegas. Ia juga mulai makan. Fisiknya pulih, dan kami semua bisa tidur dengan selamat malam itu.

Menempatkan tenda di teras besar sengaja dilakukan untuk memotong jarak pendakian. Dua tahun lalu, saya mendaki bersama Agam Napitupulu yang kala itu berusia 63 tahun. Aklimatisasi ketika itu baik karena pendakian diawali tujuh hari sebelumnya dari Sugapa (2.100 meter). Ketika itu pendakian langsung dari Lembah Danau-Danau ke puncak dan kembali dalam 22 jam.

Kini, kami berkendaraan hingga 4.000 meter. Pendakian ke 4.884 meter harus dilakukan bertahap. Penyesuaian yang dibutuhkan untuk menghindari sakit kepala akibat AMS (Acute Mountain Sickness). 14 anggota juga tidak bisa sekaligus. Terlalu berat mengusung perlengkapan semua hingga ke 4.600 meter. Setengah jumlah anggota artinya hanya membawa dua tenda dan satu set alat masak untuk perkemahan. Cukup dipanggul dua pendaki saja, yang lainnya para pendaki manula cukup membawa bekal pribadi.

Strategi ini berhasil menempatkan semua kecuali seorang saja mencapai puncak Carstensz Pyramid. Paido Panggabean menolak ikut ke puncak. "Gue tunggu sini aja, emang gue cuma pengen sampe teras aja koq," ujarnya pagi 6 Juni 2015. Tegar Paido memilih tinggal, walau saya merayu secukupnya.

Kegigihan Paido hingga mencapai kemah dalam cuaca buruk dengan fisik yang lemah, meyakinkan saya bahwa dia bisa ke puncak. Ia bisa menggunakan alat panjat walau terseok, artinya pikirannya tetap cemerlang.

Kami Sabtu senja itu turun. Paido terakhir. Saya dan Tebe memutuskan menemaninya. Kami berjalan lambat sekali. Tiga tali lagi masih harus kami turuni, lampu-lampu rekan-rekan sudah meliuk-liuk datar, tanda mereka sudah tiba di dasar Lembah Kuning. Paido kerap duduk lama, dan saya harus mengatakan, "Do, dingin nih." Ia pun bangun dan mulai lagi berjalan. Dalam hati saya membatin, 'tidak salah memang dia gigih sekali.'

Kami tiba di kemah induk Lembah Danau-Danau pada pukul 22.30. Rebah di tenda, hangat terselimut kantung bulu angsa. Paido kembali bercerita mengenai kejadian dulu. Ia mengungkapkan penyesalan-penyesalannya yang sangat pribadi. Ketika itu saya baru sadar bahwa ini adalah ziarah bagi Paido. Menyambangi kembali puncak emosi saat dia masih seorang pemuda.