Dari laporan yang terbit di jurnal Nature Communication hari ini (29/7), terungkap bahwa ternyata bakteri dalam usus berperan dalam memengaruhi munculnya gejala depresi pada seseorang.
Studi yang dilakukan oleh tim ilmuwan dari Institut Penelitian Kesehatan Digesti Keluarga di McMaster University tersebut melibatkan tikus, yang menjadi objek penelitian, dan menemukan bahwa ada mikrobiota dalam usus yang menyebabkan adanya perubahan sikap yang menuju kepada gejala awal stress dan depresi.
Studi-studi sebelumnya memang pernah mengindikasikan adanya peran mikroba dalam usus sebagai pengaruh terjadinya gejala depresi. Namun, dalam studi-studi tersebut, yang digunakan sebagai objek penelitian adalah tikus yang masih sehat.
Kali ini, dalam studi yang dilakukan di McMaster Uni tersebut, tim memisahkan tikus yang akan menjadi objek penelitian dari induknya (maternal separation) sejak mereka baru lahir, tepatnya dari hari ketiga hingga hari ke-21. Selama itu, mereka dipisahkan dari induknya selama tiga jam perhari.
Setelahnya, tim peneliti memastikan bahwa tikus yang memiliki mikrobiota kompleks dalam sistem pencernaannya menunjukkan beberapa hal: sikap gelisah dan gejala depresi, dengan tingkat hormon stres kortikosteron yang tidak biasa. Tikus dalam kelompok ini juga mengalami disfungsi usus, akibat adanya pelepasan neurotransmitter acetylcholine.
Sedangkan pada kelompok tikus yang sehat tanpa diketahui ada bakteri dalam ususnya, tikus tetap mengalami perubahan jumlah hormon stres dalam tubuh, namun tetap berperilaku normal tanpa menunjukkan indikasi gejala depresi.