Kehidupan Sosial Batavia di Mata Lelaki Ningrat Jawa Abad Ke-19

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 31 Juli 2015 | 20:00 WIB
()

“Saya menyaksikan ukuran dan tata letak alun-alun. Situasinya memang seperti alun-alun di Surakarta atau Yogyakarta. Saya kira luasnya sama,” tulis Raden Arya Sastra Darma. “Perbedaannya hanyalah tidak ada pohon-pohon beringin yang berpagar, melainkan pilar besar dan tinggi...”

Sudah barang tentu, Sang Raden tengah menyaksikan Waterlooplein dengan monumen pilar putih menjulang yang dibuat untuk mengolok-olok kekalahan Napoleon di Waterloo. Monumen itu berdiri gagah dan bermahkotakan patung singa. Namun, justru warga Kota Batavia sendiri yang kerap berkelakar dengan menjulukinya si singa itu sebagai “anjing pudel kami”.

Justru warga Kota Batavia sendiri yang kerap berkelakar dengan menjulukinya si singa itu sebagai “anjing pudel kami”.

Siapa sejatinya Sastra Darma, hinggi kini sosoknya masih misterius. Dalam catatan melancongnya yang berbahasa dan beraksara Jawa, Cariyos Negari Batawi, lelaki itu hanya mengungkapkan bahwa asalnya dari Surakarta, Jawa Tengah. Catatan jurnalistiknya itu diterbitkan oleh Landsdrukkerij dalam dua jilid pada kurun 1867-1869, kemudian dicetak ulang pada 1887. Buku warisannya hingga kini masih tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

PAra warga Cina di Batavia, sekitar 1870. Orang Cina dikenal sebagai orang yang pandai mencari untung, ungkap Raden Aria Sastra Darma. Dia juga mengamati, mereka banyak yang berdagang emas, kuli bangunan dan tukang kayu. (Tropenmuseum)

Tampaknya, Sastra Darma menyusuri perjalanan darat dari Surakarta ke Semarang. Kemudian dilanjutkan dengan kapal yang berlabuh ke Tanjungpriok, Batavia. Sang Raden tiba di Batavia pada Minggu, 15 Oktober 1865. Dia menginap di sebuah rumah milik sahabat lamanya yang berada di Jalan Tanah Nyonya No.38, dekat kawasan pecinan Pasar Senen, Weltevreden, Batavia. Selama di kota itu dia melancongi tempat-tempat menarik.

Sastra Darma mengungkapkan bahwa pemukim Batavia adalah orang Belanda, orang Cina, orang Jawa, dan orang Selam—sebutan untuk orang Betawi yang umumnya muslim. Menurutnya, orang Slam memiliki kemiripan budaya dengan orang Cina. Tampaknya, pada pertengahan abad ke-19 pun orang Betawi umumnya telah bermukim di pinggiran kota.  

Sementara julukan untuk orang-orang Surakarta dan Yogyakarta yang bermukim di Batavia adalah “orang peperut”.

Orang Belanda biasanya menduduki jabatan penting di pemerintahan atau perusahaan milik pemerintah. Sementara, orang Cina dikenal sebagai orang yang pandai mencari untung. Sang Raden mengamati, mereka banyak yang berdagang emas, kuli bangunan dan tukang kayu. Sedangkan sebagian besar orang yang bekerja sebagai kuli kasar adalah orang-orang Jawa udik atau Jawa gunung—asal Sumedang, Cianjur, Banten.

Ada juga sebutan unik. Julukan “orang wetan” ditujukan bagi pemukim asal Tegal dan Pekalongan. Sementara julukan untuk orang-orang Surakarta dan Yogyakarta yang bermukim di Batavia adalah “orang peperut”.

Mengapa orang yang berasal dari dua kerajaan besar di Jawa Tengah itu dijuluki peperut? Sebagai orang Jawa, tampaknya Sang Raden tak malu-malu untuk mengakuinya. Julukan itu diberikan kepada orang yang gandrung minum-minuman keras, menghisap candu, dan jarang bersembahyang.

Julukan itu diberikan kepada orang yang gandrung minum-minuman keras, menghisap candu, dan jarang bersembahyang.

Sementara, Sang Raden melanjutkan pemeriannya, orang Slam rajin salat lima waktu dan tak berminat untuk usaha membungakan uang. Mereka membeli rumah dan menyewakannya, mirip orang-orang Arab yang bermukim di kawasan kota lama, demikian menurut kisahnya. Namun, ada hal garib dalam budaya orang Slam. Menurutnya, orang Slam memberikan bayaran untuk segala hal, bahkan membayar  orang-orang yang menyalatkan jenazah kerabat mereka.

Tampaknya berbeda dengan di Jawa, tata administrasi di Batavia sungguh ketat. “Setiap pukul delapan malam diadakan pemeriksaan di jalan-jalan; mereka yang tidak membawa keterangan diri akan ditahan tiga hari,” tulisnya. “Orang yang bepergian lewat pukul tujuh malam dilarang membawa senjata dan barang apapun.”

Sastra Darma juga mengungkapkan lembaga kepolisian di Batavia yang tegas, tanpa pandang bulu. "Semua perkara dan persoalan diselesaikan dengan cepat dan tidak memungut bayaran sama sekali," ungkapnya. "Demikian berlaku untuk segala bangsa."