Informasi potensi peningkatan intensitas El Nino menjadi berstatus kuat pada Agustus bukan untuk menakut-nakuti publik dan pemerintah. Dengan tahu dan waspada lebih awal, publik bisa bersiap dengan lebih baik. Pemerintah pun bisa segera menyusun kebijakan antisipasi dan mitigasi agar tidak terlambat sehingga dampak kekeringan akibat El Nino tahun 1997 tidak perlu terulang.
"Fenomena alam El Nino dan La Nina (kebalikan El Nino) tidak bisa dihalangi. Dengan teknologi dan metodologi lebih baik, kita bisa mengantisipasi lebih dini," ucap Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya saat dihubungi pada Jumat (31/7).
Ia menyebutkan, El Nino tahun ini diprediksi bakal lebih kuat dibandingkan dengan 1997, tetapi informasi tersebut bertujuan membuat seluruh sektor terkait untuk bergerak cepat mencegah dampak separah tahun 1997 terulang.
Terkuat
Dalam catatan 1950-2015, El Nino yang terjadi tahun 1997-1998 sementara ini merupakan yang terkuat. Dampak merugikan bagi Indonesia terlihat dari sektor pertanian dan kehutanan. Saat itu kekeringan melanda 3,9 juta hektar lahan pertanian dengan total kerugian 466 juta dollar AS. Sementara itu, kebakaran hutan dan lahan terjadi pada 11,6 juta hektar dengan total kerugian 2,75 miliar dollar AS.
Dari luas total hutan yang terdampak ketika itu, terdapat 1,45 juta lahan gambut yang kaya karbon. Ini mengakibatkan emisi karbon dioksida sebesar 2,5 gigaton atau setara 40 persen emisi global. Kabut asap dari kebakaran lahan pun berdampak pada lebih dari 20 juta orang di Asia Tenggara, khususnya dalam bidang kesehatan pernapasan.
Karena itu, Andi meminta seluruh sektor, antara lain yang terkait dengan bidang pertanian, kebakaran hutan dan lahan, serta kesehatan, segera mengantisipasi. Fenomena El Nino ataupun La Nina membawa dampak negatif sekaligus positif. Dengan adanya informasi dari BMKG, langkah-langkah mitigasi risiko dan kebijakan untuk mengoptimalkan dampak positif bisa ditetapkan pemerintah. BMKG pun sudah ditugasi untuk memperbarui informasi setiap 10 hari sekali.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG Yunus Subagyo Swarinoto menambahkan, dari tahun ke tahun, pemerintah semakin memperhatikan informasi meteorologi dan klimatologi sehingga ia yakin pemerintah bisa meredam dampak El Nino agar tidak sampai sebesar tahun 1997. Contohnya, pendanaan untuk bencana kekeringan tergolong besar, seperti terlihat pada alokasi anggaran di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, BNPB pun menyiapkan total Rp 75 miliar dana siap pakai untuk diberikan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang memerlukan bantuan penanggulangan kekeringan sesuai kebutuhan. Lebih dari 50 persen dana digunakan untuk operasional mobil tangki dan mengadakan air bersih. Dana tersebut lebih besar dibandingkan dengan dana BNPB untuk menangani kekeringan 2014, yang sebanyak Rp 50 miliar untuk 9 provinsi.
BNPB pun mengalokasikan dana guna mendukung penanganan kebakaran hutan dan lahan, yang tahun ini sebesar Rp 385 miliar untuk kebutuhan hingga September. BNPB akan menambah anggaran dari dana siap pakai jika diperlukan. Namun, Sutopo mengingatkan, kunci untuk benar-benar menekan kebakaran hutan dan lahan adalah ketegasan penegakan hukum, mengingat dominannya faktor kesengajaan.
"Sebanyak 99,9 persen kebakaran lahan hutan dan lahan adalah akibat dibakar," kata Sutopo. Motif pembakaran antara lain untuk membersihkan kebun pribadi karena biaya lebih murah. Dengan cara membakar, pemilik kebun hanya mengeluarkan Rp 600.000-Rp 800.000 per hektar, sedangkan tanpa membakar, pemilik harus merogoh Rp 3,4 juta per hektar. Sementara itu, kontrol terhadap praktik pembakaran lahan kebun pun masih sangat minim.