Mengunjungi Owa Jawa Si Primata Setia

By , Rabu, 5 Agustus 2015 | 14:20 WIB

Lucu nan menggemaskan. Itulah dua kata yang dapat menggambarkan Owa Jawa si kera kecil. Tubuhnya ditutupi rambut berwarna abu-abu, rambut di sekitar wajahnya berwarna putih, sisi atas kepalanya lebih gelap, dan wajahnya kehitaman. Ternyata semakin dewasa atau tua, wajahnya semakin terang. Owa Jawa tak memiliki ekor tetapi tangannya relatif panjang dibandingkan dengan tubuhnya. Tubuhnya sangat lincah berayun dan berpindah ke ranting-ranting pohon.

Ini pertama kalinya saya berkunjung ke Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa yang ada di Javan Gibbon Center, kawasan Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang didirikan oleh Yayasan Owa Jawa.

Jika ingin berkunjung dan melihat Owa Jawa, Anda harus menggunakan mobil sport karena jalur yang dilalui adalah jalur menanjak. Setiba di tempat pusat penyelamatan dan rehabilitasi Owa Jawa, saya masih harus berjalan turun sekitar 50 meter. Untung saja udara di sana dingin jadi saya tidak merasa gerah. Setelah berjalan sekitar 50 meter, akhirnya saya sampai ke tempat yang dituju. Rasanya tidak sabar ingin melihat Owa Jawa yang orang-orang bilang sangat menggemaskan.

Di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa JGC, ada 21 Owa Jawa. Ada yang masih anak-anak dan ada pula yang sudah dewasa. Di sana, ada ruang rehabilitasi, kandang introduksi, dan beberapa kandang biasa. Ada kandang buatan dan ada pula kandang alami.

Mel si Induk Owa Jawa bergelantung dan menggendong anaknya bernama Asri yang berikan oleh Presiden Joko Widodo. (Nurul Kusumawardani)

Biasanya, bila Owa Jawa yang baru dipindahkan atau diserahkan kepada Yayasan Owa Jawa, si kera kecil itu harus masuk ruang rehabilitasi. Tujuannya, untuk mengembalikan kondisi kesehatan dan perilaku Owa Jawa agar dapat dikembalikan ke habitat aslinya. Karantina, pemeriksaan kesehatan, pemulihan kondisi dilakukan di ruang rehabilitasi.

Sedangkan kandang introduksi adalah kandang untuk Owa Jawa yang usianya dibawah 6 tahun. Di dalam kandang introduksi, terdapat Owa Jawa betina dan jantan, namun mereka diberi pembatas. Biasanya kandang introduksi untuk perjodohan Owa Jawa betina dan jantan. Dan beberapa kandang lainnya adalah kandang alami yang ditempati oleh Owa Jawa yang telah sehat dan kembali menunjukkan perilaku alami. Menariknya, kandang-kandang Owa Jawa berbentuk segitiga.

Yang mengagumkan dari Owa Jawa adalah ia merupakan primata yang memiliki sifat setia. Ia tidak akan melakukan poligami atau pun poliandri. Biasanya, bila induk Owa Jawa mati, pejantan Owa Jawa  akan mengalami stres dan ikut mati. Itu mengapa tingkat kepunahan Owa Jawa sangat tinggi. Penyebabnya karena penangkapan liar, dan pejantan Owa Jawa tidak kawin lagi bila sang betina sudah mati.

Kisah Haru Delon Si Owa Jawa

Dari semua Owa Jawa yang ada di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa JGC, ada satu Owa Jawa yang kisahnya menarik perhatian saya. Usianya sekitar 2 tahun dan diberi nama Delon oleh Yayasan Owa Jawa.

Delon si Owa Jawa yang berusia 2 tahun bergelantungan di dalam kandangnya di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa di Javan Gibbon Center, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. (Nurul Kusumawardani)

Delon adalah Owa Jawa yang sebelumnya dipelihara oleh masyarakat sekitar. Dia dipelihara sejak berusia 6 bulan dan diserahkan ke YOJ saat berusia 9 bulan. Saat berada di pusat penyelamatan dan rehabilitasi, Delon tidak makan apapun dan harus disuapi oleh para penjaga. Dia juga tidak bergelantung ke ranting-ranting pohon seperti Owa Jawa lainnya.

Menurut salah satu penjaga yang biasa dipanggi Kang Ayung, Delon seperti itu karena sudah terbiasa disuapi, digendong, dan berjalan di atas lantai. Setelah seminggu lebih Delon harus disuapi, dan menunjukkan sikap ingin kembali ke rumah pemilik dahulunya. Sang penjaga berinisiatif menempelkan foto-foto keluarga pemilik Delon di dalam kandangnya. Hasilnya.. Delon mulai bergerak dan mengambil makanan sendiri tanpa harus disuapi.