Mikrob di dalam tanah mencabik-cabik tanaman yang mati dengan enzim khusus, yang memecahkan ikatan kimia yang ada dalam tanaman. Mikrob memotong-motong makanan ini agar bisa dikonsumsi oleh tubuhnya yang mungil.
Namun, “mereka tak seratus persen efisien,” ujar Staven Allison, seorang ahli ekologi yang berasal dari University of California, Irvine.
“Ada karbon yang tidak dimakan oleh mikrob. Kemudian mereka mati. Karbon itu akhirnya ada di tanah. Ini merupakan sebuah siklus. Selalu ada karbon yang tak termakan. Inefisiensi kecil ini berakumulasi seiring berjalannya waktu,” paparnya.
Makanan sisa berlebih milik mikroba ini atau yang disebut dengan material humus, telah menumpuk selama ribuan tahun, dan mengakibatkan tanah memiliki warna cokelat.
Karbon ini menyerap sebagian besar warna yang ada dalam spektrum sinar mentari, dan hanya memantulkan kembali cahaya berwarna cokelat.
Namun, tak semua tanah di dunia memiliki hanya warna ini. Tanah yang ada di Hawaii mempunyai sentuhan warna kemerahan. Jika karbon tak tersedia dalam jumlah yang cukup banyak, tanah akan nampak berwarna kuning, merah, dan keabuan. Warna itu berasal dari mineral pembentuknya.