Siapa menyangka? Seorang petani biasa, Sabur (45), warga Desa Aur Cina, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukumuko, Bengkulu, mendirikan sebuah sekolah tingkat SLTP, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada, hingga mampu menyusun silabus pendidikan lingkungan hidup yang menjadi rujukan puluhan sekolah se-Provinsi Bengkulu.
Sabur adalah seorang petani yang rela menjualkan sebidang kebun kelapa sawit yang ia miliki demi mendirikan sebuah sekolah. Ini bermula dari keprihatinannya yang hidup jauh dari akses pendidikan di kampungnya. "Sekolah ini awalnya modal dari saya dan istri saya. Kami bersepakat menjual kebun sawit, lalu hasil penjualannya, saya sisipkan beberapa gram emas untuk istri. Selebihnya uang itu kami sepakat belikan tanah seluas seperempat hektar untuk mendirikan sekolah," kata Sabur beberapa waktu lalu. Menurut Sabur, setalah berjalan tiga tahun, dan jumlah murid mencapai ratusan orang, ia berkeinginan sekolah yang dibangunnya memiliki ciri khas. Dipilihlah metode pendidikan lingkungan hidup yang bekerjasama dengan sebuah organisasi lingkungan hidup setempat, Yayasan Genesis. Ketua Yayasan Genesis, Berlian pun membenarkan hal tersebut. Menurut Berlian, ide itu berasal dari Sabur untuk membuat materi pendidikan lingkungan hidup yang bisa diterapkan di tingkat SD, SLTP hingga SLTA.
"Beberapa bulan kami garap bersama para guru, dinas pendidikan maka terbentuklah silabus tersebut terbentuk saat ini telah diakses oleh 15 sekolah mulai dari SD hingga SLTA se Provinsi Bengkulu," kata Berlian.Berlian menguraikan, secara garis besar, silabus pendidikan lingkungan hidup untuk tingkat SD difokuskan kepada kehidupan siswa yang kaitannya dengan lingkungan sekolah dan lingkungan rumah. Dengan mengenal lingkungan rumah dan lingkungan sekolah, siswa diharapkan dapat memahami perannya dalam kedua lingkungan tersebut. Proses yang diharapkan dari pendidikan lingkungan hidup ini, siswa dapat membiasakan diri untuk bertanggungjawab terhadap dirinya, sekolah dan lingkungan rumah, khususnya dalam praktik yang mendukung lingkungan hidup. Di tingkat SLTP, siswa diajak untuk mengenali kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia. Dengan mengenali kerusakan yang dilakukan oleh manusia, maka siswa diharapkan dapat melakukan pencegahan kerusakan lingkungan secara dini. Selain itu, siswa juga diajak untuk melakukan pelestarian lingkungan dengan cara memperbaiki lingkungan yang sudah rusak secara sederhana. Di tingkat SLTA, siswa diarahkan untuk memahami apa dampak jika terjadi kerusakan lingkungan. Selain itu, siswa juga diajarkan untuk mengantisipasi bencana alam yang berpotensi terjadi di daerah mereka. Siswa juga dibekali pengetahuan dalam pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal. Terakhir, siswa diberikan pemahaman tentang isu-isu lingkungan yang saat ini sedang terjadi. Hasil akhir dari pendidikan lingkungan ini diharapkan, siswa menjadi aktor yang aktif dalam menjalankan aktivitas yang tidak merusak lingkungan, dan dapat mencegah dan mengantisipasi bila terjadi kerusakan lingkungan. "Isu lingkungan hidup menjadi penting harus digalakkan sejak dini agar ke depan para siswa dan pemuda dapat secara mandiri, atau kelompok melakukan tindakan pencegahan terhadap kerusakan lingkungan hidup," ujar Berlian.