Konflik di Timur Tengah Memperbaiki Kualitas Udara

By , Minggu, 23 Agustus 2015 | 12:00 WIB

.Para peneliti dari Institut Max Planck mengatakan tingkat polusi udara di Suriah dan Irak, misalnya, berkurang drastis sejak 2011.

Di ibu kota Suriah, Damaskus, jumlah nitrogen dioksida yang terkandung dalam udara anjlok sebesar 50% setelah perang sipil dimulai empat tahun lalu. Kondisi serupa juga terjadi di Kota Aleppo.

Hal ini, menurut para peneliti, mencerminkan keadaan Damaskus dan Aleppo yang semakin ditinggalkan penghuninya. Sebab, nitrogen dioksida dihasilkan melalui pembakaran bahan bakar fosil. Jika semakin rendah jumlah mobil berbahan bakar fosil yang berlalu lalang di sebuah kota, maka tingkat zat kimia di kota tersebut semakin kecil.

Kondisi berbeda ditemukan di Libanon. Tingkat nitrogen dioksida di negara tetangga Suriah itu meningkat 30% seiring dengan semakin banyaknya jumlah pengungsi yang mengalir ke sana sejak konflik dimulai.

Temuan tersebut didasari data polutan udara yang dihasilkan Instrumen Pemantauan Ozon pada satelit Aura milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA).

“Cukup menakjubkan. Anda bisa melihat ke mana rakyat Suriah pergi. Anda bisa mengenali kamp-kamp di Yordania utara. Mereka juga pergi ke kota-kota seperti Tripoli dan Beirut. Konsumsi energi di sana telah meningkat. Lalu lintas, lebih banyak mobil yang berkontribusi pada peningkatan itu,” ujar ketua tim peneliti, Dr Jos Lelieveld dari Institut Max Planck.

Kelompok ISIS

Lelieveld juga merujuk tingkat polusi udara saat membicarakan kantung-kantung kekuatan kelompok ISIS di Irak.

“Di Karbala, sebelah selatan Baghdad, tingkat polusi berlanjut. Namun, jika Anda melihat barat laut Baghdad, wilayah yang dikuasai ISIS, Anda akan melihat hal berbeda. Ada kasus spesifik di tiap negara,” ujarnya.

Penelitian yang mencermati peta Timur Tengah dari aspek tingkat polusi udara itu, menurut Lelieveld, berguna bagi penyusunan strategi proyek emisi global.

Dia mengatakan taktik mengurangi polusi tidak bisa disamaratakan di seluruh dunia. Di Timur Tengah sendiri, setiap negara memiliki permasalahan polusi yang harus ditangani secara berbeda.

“Di Iran, misalnya, konsumsi energi terus berlanjut dan C02 bertumbuh. Namun nitrogen oksida dan sulfur dioksida menurun. Tiada aturan umum yang bisa diterapkan pada skenario emisi,” ujarnya.

Para peneliti mengklaim sulit menggunakan teknologi untuk bisa menyusun strategi yang lebih pasti. Di sebuah daerah tingkat nitrogen oksida yang terkandung di udara mungkin lebih rendah, namun masyarakat setempat mungkin menggunakan bahan bakar murah dan lebih kotor untuk penghangat.

Meski demikian, Profesor John Burrows dari Universitas Bremen, Jerman, menilai setidaknya ada informasi saintifik yang bisa digunakan untuk memetakan kondisi di daerah tertentu.