Risiko Arkeolog di Tengah Perang

By , Kamis, 27 Agustus 2015 | 11:30 WIB

Suriah kini berduka karena kehilangan salah seorang penjaganya, Khaled Asaad. Asaad adalah kepala pengurus barang-barang antik di kota Palmyra, yang dieksekusi oleh ISIS pada bulan Agustus 2015. Setelah disekap dan disiksa selama sebulan oleh pihak ISIS yang menuntut keterangan lokasi artefak yang dievakuasi, akhirnya Khaled Asaad dipenggal dan jasadnya digantung di sebuah pilar. Sebuah pengumuman yang di dalamnya tertulis bahwa eksekusi dilakukan untuk menghukum orang yang kafir, diletakkan tak jauh dari jasadnya.

Khaled Asaad adalah satu dari sekian banyak arkeolog dan pengurus museum yang menjalankan tugasnya menjaga barang-barang antik peninggalan lampau. Tidak jarang, terutama di daerah konflik, mereka mengemban tugas dan bertaruh nyawa. Kisah Khaled Asaad dan arkeolog penjaga artefak sejarah lainnya, mirip tokoh-tokoh utama dalam film The Monuments Men—sebuah film yang bercerita tentang pasukan militer dengan tugas menyelamatkan benda-benda seni dari dampak perang melawan Nazi. Merujuk pada pernyataan Fredrik Hiebert, seorang arkeolog National Geographic, arkeolog dan pengurus museum yang berdedikasi adalah para pahlawan budaya.

Di berbagai belahan dunia lainnya, arkeolog dan pengurus museum sering berhadapan dengan bahaya saat berada dalam tugas. Di Peru pada Februari 1987, seorang arkeolog bernama Walter Alva mendapatkan tugas untuk melestarikan peninggalan budaya Inca serta Moche dengan ancaman perampok serta kecaman warga local yang berpikiran sempit.

Arkeolog Peru, Walter Alva dan Susana Meneses bersiap-siap untuk melaksanakan ekskavasi pada sebuah makam yang harus dilindungi dari perampok. (Nathan Benn/National Geographic)

Tertulis dalam buku Lords of Sipan, pekerjaan yang dilakukannya dalam suasana penuh terror, berubah 180° saat dia dengan berani menantang salah seorang warga lokal untuk turut melakukan pekerjaan ekskavasi. Setelah keputusannya yang berani tersebut, kegiatan ekskavasi menjadi lebih mudah karena para warga menjadi berpikiran lebih terbuka.

Berbeda dengan nasib pahlawan budaya di Baghdad, Irak pada tahun 2003, walaupun telah berusaha mati-matian menyelamatkan artefak selama perang (konflik) antara Irak dan Amerika Serikat, beberapa artefak tidak sempat diselamatkan. Hanya sekitar 8.000 artefak yang berhasil dievakuasi, sementara yang lain harus ikut hancur karena dampak perang. Tidak hanya itu, karena museum sempat tidak dijaga selama 96 jam, beberapa artefak dicuri oleh para perampok yang leluasa beraksi di gedung tak berpenjaga tersebut. Saat pengurus museum kembali, walau jumlahnya sedikit, tapi berhasil mengusir para perampok.

Direktur Deputi Museum Nasional Irak, Mushin Hasan, duduk di atas artefak yang hancur. (Mario Tama)

Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa mereka rela melakukan hal berbahaya tersebut demi barang-barang tua? Hiebert menyatakan, dalam waktu bersamaan dengan konflik Irak, kota Kabul di Afganistan telah mengalami kehancuran sebanyak 70% akibat perang. Museum Nasional Afganistan yang konon memiliki banyak sekali artefak, pada saat itu bahkan tidak memiliki atap, dinding, jendela—apalagi artefak. Museum itu telah hancur dan artefak tidak terlihat—entah dicuri atau hancur.

Namun ternyata pengurus museum telah mengantisipasi dampak perang jauh di tahun 1989. Para pengurus museum telah mengevakuasi artefak-artefak ke sebuah brankas yang disegel dengan 7 kunci di istana presiden. Yang lebih mengejutkan bagi Hiebert, pada saat museum dibuka kembali, artefak-artefak yang diselamatkan bukan hanya logam dan batu mulia yang bernilai ekonomi tinggi, melainkan juga kayu tua, gading, pecahan tanah liat, terakota, dan lain-lain.

“Bagi mereka, ini bukan hanya tentang menyelamatkan barang berharga, namun juga menyelamatkan identitas mereka,” komentar Hiebert, ”Ini membuatku optimis akan dunia. Berbagai masalah dan tragedi kian menghantui, namun akhirnya kemanusiaan selalu menang. Anda tidak akan bisa menghapus sejarah. Tidak mungkin.”