Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iskandar Zulkarnain mengatakan, anggaran belanja untuk penelitian dan pengembangan (litbang) ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia masih rendah, hanya sebesar 0,09 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Iskandar pada saat memberikan sambutan dalam Seminar Nasional XXVI AIPI dengan tema "Membaca 70 Tahun Indonesia Merdeka: Tantangan Menuju Negara Demokrasi Berkeadilan" di Gedung Widyagraha LIPI, Jakarta, Kamis (27/8).
Menurut Iskandar, anggaran belanja ini merupakan salah satu indikator kemajuan suatu negara. Anggaran yang minim berpotensi menghambat Indonesia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumber daya manusia dalam menghadapi persaingan regional dan global.
"Sementara Malaysia mampu mencapai 2 persen, China di atas 2 persen, Amerika mendekati 3 persen, dan Israel 4 persen. Kita 0,1 persen saja belum," kata dia.
"Negara maju sudah membuktikan bahwa kemajuan dan kemakmuran suatu negara itu ditopang oleh pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi," kata Iskandar.
Iskandar mengatakan, indikator kedua adalah jumlah peneliti di Indonesia memiliki rasio perbandingan yang dinilai tidak ideal. Menurut dia, saat ini rasio perbandingan peneliti dan penduduk di Indonesia adalah 90 peneliti per satu juta penduduk. Hal ini jauh berbeda dengan rasio perbandingan yang dimiliki oleh negara lain.
"Kalau kita coba lihat negara BRICK, Brasil, Rusia, India, China, dan Korea. Brasil memiliki 700 peneliti per 1 juta penduduk, Rusia memiliki 3.000 peneliti per 1 juta penduduk, India memiliki 160 peneliti per 1 juta penduduk, China memiliki 1.020 peneliti per 1 juta penduduk, dan Korea memiliki 5.900 peneliti per 1 juta penduduk," kata Iskandar.
Lebih lanjut, Iskandar menjelaskan, indikator ketiga terkait dengan jumlah lembaga riset yang ada di suatu negara. Menurut dia, jumlah lembaga riset di Indonesia masih sedikit. Padahal, kata Iskandar, begitu banyak masalah yang perlu diselesaikan secara bersama-sama.
"Di Amerika itu, ada 390 lembaga riset, di Jerman ada lebih dari 190, di Jepang di atas 70, di Indonesia ya bisa kita hitung sendiri," kata Iskandar.
Iskandar mengatakan, dengan mempertimbangkan tiga indikator tersebut, diharapkan dapat menopang cita-cita mewujudkan Indonesia yang memiliki demokrasi berkeadilan sosial.