Saling Bertimbang Hati untuk Kebersamaan Indonesia

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 31 Agustus 2015 | 16:15 WIB
()

“Sering dikatakan para ahli,” ungkap Azyumardi Azra, “Indonesia merupakan kawasan Muslim yang paling kurang mengalami Arabisasi.”

Pernyataan itu merupakan bagian makalahnya yang berjudul Toleransi Agama untuk Persatuan Negara-Bangsa Indonesia. Azra menyampaikannya dalam forum LIPI Sarwono Memorial Lecture pada Kamis, 20 Agustus 2015. Ceramah disampaikan oleh seseorang yang telah mumpuni di bidangnya, baik kalangan ilmuwan sendiri, tokoh masyarakat atau pakar yang telah terbukti kontribusinya terhadap bangsa dan Tanah Air. Forum ini digelar setahun sekali sejak 2001, untuk mengenang perintis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof. Dr. Sarwono Prawirohardjo (1906-1983).

Azra melanjutkan, kawasan Timur Tengah memiliki corak budaya dan sejarah yang berbeda dengan di Indonesia. Islam di Indonesia pun memiliki pengalaman berbeda dengan pengalaman Islam di Timur Tengah, Asia Selatan, atau Anak Benua India. Sederet kawasan tersebut, menurut hemat Azra, mengalami penundukan politik oleh kuasa militer Muslim dari Arabia. Sementara, Islam tersiar ke pelosok Nusantara lewat penyebaran secara damai.

Suasana di depan Masjid Menara Kudus seusai salat Jumat, 20 Januari 2012. Didirikan oleh Syekh Jafar Sodiq (Sunan Kudus) pada 1549, masjid ini selaras dengan arsitektur masa Hindu-Buddha yang hingga kini menjadi simbol akulturasi. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

“Proses semacam ini,” ungkapnya, “memberikan warna cukup khas bagi Islam di Indonesia, yakni Islam yang akomodatif dan inklusif.” Proses inilah yang pada akhirnya melahirkan Islam Nusantara atau Islam Asia Tenggara yang mapan sejak akhir abad ke-16, demikian ungkap Azra.

“Agama itu menjadi faktor pemersatu penting dalam keragaman suku,” ujar Azra. Orang Islam di Aceh merasa bersaudara dengan orang Islam di Jawa atau orang Islam di Bugis karena seiman. Begitu juga alasan mengapa orang Kristen di Tapanuli merasa dekat dengan Kristen di Minahasa, atau dengan Kristen di Ambon. “Dari segi budaya sama sekali berbeda, tetapi memiliki solidaritas yang ikatannya agama.”   

Sementara itu Iskandar Zulkarnain, Kepala LIPI, mengatakan bahwa Azra merupakan sosok akademisi, praktisi, sekaligus tokoh agama, yang telah menunjukkan prestasi luar biasa dalam mendorong toleransi dan kerukunan antarumat beragama. “Profesor Azyumardi Azra tidak pernah berhenti untuk mencoba mengatasi kesalahpahaman masyarakat tentang radikalisme dan ekstrimisme,” ujarnya, “dan mengedepankan toleransi beragama untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.”

Menurut Zulkarnain, buah pemikiran Azra sangat penting terutama bagi bangsa Indonesia yang sangat heterogen. “Saya yakin pandangan beliau tentang toleransi beragama akan memberikan inspirasi bagi kita, baik dari sisi ilmiah maupun sebagai tuntunan kehidupan sehari-hari.”

“Profesor Azyumardi Azra tidak pernah berhenti untuk mencoba mengatasi kesalahpahaman masyarakat tentang radikalisme dan ekstrimisme...”

Azyumardi Azra merupakan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Guru Besar Kehormatan University of Melbourne. Sebagian aktivitasnya tercurah sebagai anggota Akademi ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Dewan Riset Nasional. Selain itu, Azra juga menjabat sebagai pemimpin redaksi berbagai jurnal nasional dan internasional yang berkaitan dengan studi agama dan kemanusiaan. Azra mendapatkan gelar Commander of the Most Excellent Order of British Empire dari Ratu Elizabeth pada 2010. Penghargaan tersebut menjadikan Azra sebagai orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar “Sir”.

Azra juga mengemukakan pendapatnya bahwa pengembangan konsep kerukunan antarumat beragama memerlukan beberapa prasyarat penting, sebagian adalah menghilangkan kecurigaan dan ketakutan. “Mungkin ini yang orang lupa, agama dianggap pemecah belah, padahal pemersatu budaya yang beraneka ragam.” Kemudian, di bagian akhir ceramahnya Azra mengatakan, “Saya tidak pesimis, kita akan bersatu dengan paham agama yang moderat.”