Wallace yang Terlupakan

By , Rabu, 2 September 2015 | 17:45 WIB

Indonesia merupakan negara yang kaya akan botani dan hewani. Dari Sabang sampai Merauke, kekayaan yang dimiliki Indonesia tidak serupa satu sama lain. Adalah Alfred russel Wallace, seorang naturalis dari Inggris yang telah berhasil membedakan flora dan fauna Indonesia dan membuat sebuah garis imajiner yang memisahkan mereka.

Hasil kerja Wallace tersebut menjadi fokus Pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam. Pameran tersebut adalah sebuah pameran seni yang menampilkan hasil penelitian dari koleksi sejarah alam masa kolonial serta dampak-dampak yang disebabkan. “Banyak orang yang mengetahui bahwa teori evolusi diciptakan oleh Darwin, hanya sedikit yang mengetahui bahwa esai pertama tentang teori evolusi sebenarnya diciptakan oleh Wallace saat dia berada di Indonesia,”kata Etienne Turpin, salah satu kurator dari pameran tersebut. Selain menanamkan tokoh Wallace di masyarakat, pameran ini juga bertujuan untuk mendidik masyarakat agar peduli pada keragaman hayati. “Kami ingin membuat orang-orang berpikir bahwa teori evolusi sebenarnya adalah teori, yang katakanlah, dimiliki oleh Indonesia, dan bagaimana hal tersebut dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan tentang konservasi modern dan keragaman hayati.”

Sebanyak 26 seniman menampilkan karya-karya mereka yang beranekaragam. Mereka adalah seniman dari berbagai belahan dunia yang telah mengirimkan proposal untuk bisa memberikan peran mendidik masyarakat. Terpilih sebanyak 13 seniman dalam negeri serta 13 seniman luar negeri, seperti Fred Langford Edwards, Lucy Davis, Ari Bayuaji, dan lain-lain, yang memiliki proposal terbaik, sehingga bisa ikut serta dalam Pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam di Jakarta yang berlangsung dari 15 Agustus hingga 15 September 2015.

Lalu mengapa pameran ini perlu diselenggarakan? Menurut Turpin, masyarakat banyak menggunakan berbagai produk dari alam namun tidak tahu asal produk tersebut. Ketidaktahuan masyarakat membuat mereka juga tidak tahu tentang dampak yang ditimbulkan dari proses produksi produk tersebut—yang bisa saja menyebabkan kerusakan alam. Kesadaran masyarakat adalah sasaran dari pameran ini.

Pameran yang bekerja sama dengan Komunitas Salihara dan Museum Zoologicum Bogoriense, LIPI ini bukan hanya sekadar pameran karya seni biasa. Setelah dipersiapkan selama 2 tahun oleh Turpin dan rekannya, Anna-Sophie Springer, setiap karya seni dalam pameran ini memiliki unsur-unsur ilmu pengetahuan yang diperoleh dari penelitian panjang arsip-arsip bersejarah. Setelah hasil penelitian didapatkan, karya-karya seni baru selanjutnya diciptakan. “Kalau kalian mau membuat sebuah karya seni tentang hutan, kalian tidak hanya langsung melukiskan pacar kalian yang duduk di dalam hutan,”kata Turpin sambil tertawa,”Kalian dapat pikirkan tentang sejarah hutan tersebut.”

Ruang pameran di Galeri Komunitas Salihara dipenuhi karya seni pameran tersebut seperti foto, miniatur, peta, spesimen binatang, dan lain-lain yang ditata rapi. Dengan diciptakan dari dasar ilmu pengetahuan, karya seni tersebut memberikan suatu ide yang perlu dipikirkan oleh para penikmatnya.  “Idenya memang berat, namun tidak sulit,”kata Turpin.”Mereka menyajikan banyak hal untuk dipikirkan, namun mereka tidaklah rumit.”

Pameran ini nantinya akan diselenggarakan pula di Berlin, London, dan Amsterdam. Segala karya seni yang bercerita tentang Wallace juga Indonesia, akan dipertunjukkan pula pada Eropa yang memberikan dampak kolonialisme di Indonesia. “Kolektor Eropa mengambil spesimen dari sini (Indonesia) ke Eropa, dan kini kita akan membawa karya seni yang menantang seluruh sejarahnya,”terang Turpin, “Adalah penting kita membawa beberapa cerminan kritis pada praktek modern—dari sini, kembali ke Eropa juga."