Sebelum memulai perjalanan di pagi hari, saya mampir sarapan di sebuah warung di bilangan Karangturi. Warga setempat menjuluki dengan Warung Hai lantaran pemiliknya bernama Loo Jeng Hai.
Sang peracik bernama Koh Karjin. Setiap pagi hari, warungnya menyajikan beragam makanan sarapan pagi seperti nasi uduk, nasi semur (bihun masak kecap), aneka gorengan, kue tradisional dan minuman spesial warung ini: Kopi Lelet.
Kopi lelet sejatinya adalah kopi khas daerah Kabupaten Rembang. Sajian kopi hitam legam yang memiliki ampas pekat yang digunakan untuk melukis di atas rokok. Si seniman kopi lelet ini menggunakan ampas kopi dicampur susu kental manis. Setelah tercampur rata, seniman ini akan membuat aneka motif di atas rokok dengan menggunakan tusuk gigi sebagai alat lukisnya. Menarik, karena tradisi ini hanya ada di sekitar Kabupaten Rembang. Mas Karjin ini pun menjadi salah satu pendukung seniman kopi lelet berkreasi di warungnya.
“Setiap hari ada saja yang membuat kerajinan kopi lelet. Rokok digambari, biar awet waktu diisap,”ujar Mas Karjin.
Tak jauh dari warung kopi Koh Karjin, di ujung jalan menikung, tampak sebuah rumah gaya Cina bersahaja. Rumah itu terbuat dari papan-papan kayu beratapkan genting merah, berlantaikan hamparan terakota. Di sanalah pabrik Yopia tradisional yang telah dipegang oleh generasi ketiga pembuatnya, Koh Siek Soen Hong (63).
Yopia adalah makanan semacam kue kering berkulit tipis yang didalamnya terdapat lapisan gula merah. Jika Anda berkesempatan mengunjungi workshop yopia ini, silakan mampir pagi hari antara pukul 7-10 pada saat Yopia dipanggang. “Sore hari kadang hanya untuk pengepakan,”ujar Koh Soen Hong. “Yopia ini tahan lama lo, sampai 3 minggu,” lanjut laki-laki yang mirip bintang film Hongkong Stephen Chow. Senyum dan tawa khasnya tentu tak akan pernah bisa dilupakan!
Kemudian, saya beranjak memasuki rumah Sigit Witjaksono (84), dan waktu pun kembali seolah berhenti. Rumah berarsitektur Cina lawas dihiasi aneka pigura foto-foto kenangan keluarga sang maestro batik Lasem ini.
Sigit menyambut dengan senyumannya. Kami duduk di teras belakang rumahnya sambil menyaksikan para pembatik Sekar Kencana yang sedang melakukan proses isen-isen, nglorot dan penjemuran batik. “Batik keluarga saya,” ujar Sigit, “memiliki aneka motif khas tradisional Cina seperti kura-kura, naga, burung hong, kupu-kupu, kelelawar, bunga krisan.”
Banyak pesan moral dan simbolik dalam batik Lasem. Rumah batik milik Sigit juga memproduksi tok wie (kain penutup meja altar) batik. Kemudian Sigit melanjutkan, “Satu yang khas batik saya ini saya beri sentuhan aksara Han tentang pepatah Bahasa Cina Klasik, seperti Si Hai Zhi Nei Jie Xiong Di Ye—semua manusia di empat penjuru lautan adalah saudara.”
Selepas dari rumah batik Sekar Kencana, saya menemui sanggar kerja bernuansa rumah Indis milik Henry Setiawan, seorang pria muda keturunan ke enam dari keluarga batik Njoo Tik Liang.
Henry seorang pemuda metropolitan yang sempat mengenyam karir cemerlang di sebuah perusahaan swasta Surabaya. Namun, ia memutuskan kembali ke Lasem dan melanjutkan usaha batik ayah ibunya yang bernama “Padi Boeloe”. Kemudian, Henry mengembangkan kreasinya dengan merek dagang “Rajawali”.
Hebatnya, Henry pun semakin mantap mengembangkan batiknya dan berkompetisi dengan sang istri, Renny Priscilla—generasi ke 5 Batik Lasem Maranatha. Istrinya merupakan salah satu seniman batik halus Lasem yang mengerjakan reproduksi batik-batik pakem klasik Lasem.
“Saya jatuh bangun meneruskan batik warisan ayah," ujar Henry. Dia mempelajari berbagai resep warna batik keluarga: merah, hijau, biru, violet dan kuning. Salah satu tantangannya, sang ayah mengkreasikan warna ‘soft mbladus’ yang sebelumnya tidak pernah ada dalam khasanah warna batik Lasem.
Satu karya ayahnya yang tidak bisa ditiru adalah ‘broken sekar jagad’. Nama ini diberikan oleh Mas Pop, seorang penggiat budaya Rembang Lasem. “Warnanya keluar pakem karena kesalahan teknis, tak bisa diulang lagi,” lanjut Henry sambil memperlihatkan batik bermotif bunga kecil warna coklat muda dengan semburat merah.
Di akhir perjumpaan, Henry memperlihatkan kepada saya dua buah kain tok wie hasil batikan sang ayah dan ibu. “Kenangan yang tak ada duanya,” pungkasnya.