Sebuah tim arkeolog Australia dan Selandia Baru telah berhasil menemukan tembikar tertua yang digali di dataran tinggi terpencil situs Wañelek di Provinsi Madang, Papua New Guinea. Hampir 20 pecahan tembikar merah dikumpulkan dari situs tersebut, beberapa diantaranya terdapat gores-gores hiasan.
Pecahan tersebut berukuran kecil dan sangat terfragmentasi (dengan dimensi maksimum rata-rata 3,3 cm). Salah satu fragmen berusia setidaknya 3.000 tahun, beberapa ratus tahun lebih tua dari tembikar tertua yang dikenal sebelumnya di New Guinea, menurut tim yang dipimpin oleh Dylan Gaffney dari Universitas Otago, Selandia Baru.
"Studi ini menjungkirbalikkan konsensus yang ada sebelumnya bahwa bangsa Austronesia— yang berhubungan dengan budaya Lapita, hanya mengitari wilayah pesisir New Guinea dan tidak berinteraksi dengan populasi pedalaman," kata Gaffney. Konsensus tersebut menyatakan bahwa bangsa Austronesia melewati daratan besar ini, alih-alih memilih menetap di Kepulauana Bismarck sebelum melanjutkan migrasi yang berakhir dengan kolonisasi kepulauan pasifik terpencil seperti Vanuatu, Kaledonia Baru, Fiji dan Samoa.
“Penemuan ini akan membantu para arkeolog untuk merekonstruksi bagaimana teknik pembuatan tembikar menyebar dari Asia Tenggara hingga ke Pasifik, dan memberikan wawasan yang lebih luas tentang teknologi penyebarannya ke seluruh peradaban awal,” kata rekan penulis, Dr. Tim Denham dari Universitas Australia di Canberra.