Indonesia Berpotensi Menjadi Kontributor Terbesar Emisi Gas Rumah Kaca

By , Rabu, 7 Oktober 2015 | 19:30 WIB

Jika tidak ada upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi ketergantungan atas batubara, Indonesia tidak hanya akan terkebak dalam perubahan iklim, tetapi juga akan menjadi kontributor terbesar emisi gas rumah kaca, demikian disampaikan Arif Fiyanto, juru kampanye Greenpeace Indonesia berkaitan dengan program pemerintah membangun pembangkit listrik sebesar 35.000 MW. Menurut data Greenpeace, 60% atau sekitar 22.000 MW akan dihasilkan dari PLTU batubara.

“Setiap 2000 MW, dia (PLTU batubara) akan menghasilkan emisi karbon rata-rata 10,8 juta tin per tahun,” ujar Arif saat ditemui dalam kegiatan Festival Buru Baru di pantai Baru, Yogyakarta (26/9). Dalam rentang tahun 2019 sampai 2030—jika seluruh PLTU batubara beroperasi pada tahun 2019 sesuai dengan target pemerintah,“PLTU ini akan menghasilkan emisi karbon sebesar 1,3 Giga Ton,” tambahnya.

Sampai saat ini, menurut Arif, emisi karbon datang dari hutan dan alih fungsi lahan. Namun mulai tahun 2020, emisi dari sektor energi, terutama dari pembangkit listrik akan menjadi faktor yang dominan.

Penelitian Harvard yang disusun dalam sebuah laporan oleh Greenpeace dalam ‘Ancaman Maut PLTU Batubara’ menyebutkan bahwa batubara yang dibakar di PLTU memancarkan sejumlah polutan seperti NOx dan SO3 yang merupakan kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi PM 2.5 (partikulat debu melayang).

Partikel-partikel polutan yang sangat berbahaya tersebut, saat ini mengakibatkan kematian dini sekitar 6.500 jiwa per tahun di Indonesia, demikian tertulis dalam laporan tersebut. Angka tersebut diperkirakan akan bertambah menjadi sekitar 15.700 jiwa per tahun seiring rencana pembangunan PLTU batubara baru.

Lebih lanjut Arif Fiyanto menganggap bahwa membangun pembangkit listrik 35.000 MW selama lima tahun adalah proyek yang ambisius. Menurutnya, seharusnya pemerintah bukan membangun PLTU batubara, “Melainkan membangun pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan skala kecil yang sesuai dengan potensi dan karakteristik wilayah-wilayah yang membutuhkan listrik.”

“Misal seluruh pulau Rote butuh 1 MW, membangun pembangkit listrik tenaga surya dari perijinan, konstruksi sampai beroperasi penuh cuma butuh waktu 6 bulan.”